Senin, 01 September 2008

MENAPAK JALAN SUFI (Bagian Kedua)

D. Pokok-pokok Jalan Sufi al-Sinkili dalam Umdat al-Muhtajin

Untuk dapat mengurai pokok-pokok bimbingan menempuh jalam sufi al-Sinkili dalam Umdat al-Muhtajin, penulis menguraikannya sebagai berikut:

Kewajiban mengenal Allah dan Rasul Allah Saw

Sebagaimana diketahui, kalimah syahadatainasyhadu an lâ ilâha illâ Allâh wa asyhadu anna Muhammadan Rasûl Allah—adalah bagian dari rukun Islam. Syahadatain itulah yang membedakan antara muslim dengan kafir. Seseorang yang telah mengikrarkan syahadatain dianggap sebagai orang muslim, sebaliknya orang yang mengingkari pengikraran syahadatain disebut kafir. Karenanya, syahadah mempunyai nilai penting dalam keberagamaan seseorang.

Abd al-Râuf al-Sinkîlî menyatakan bahwa setiap mukallaf wajib untuk mengikrarkan syahadatain sebagai pengakuan akan keesaan Allah dan kesahan risalah-Nya yang dibawah oleh Muhammad Saw. Syahadatain tersebut mengandung implikasi pada pengenalan sifat-sifat Allah dan rasul, yang berupa sifat wajib, mustahil dan jaiz.

Al-Sinkîlî sebagaimana pengikut Asy’ari lainnya menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat wajib yang berjumlah 20 yaitu: wujûd (ada), qidam (dahulu), baqâ’ (kekal), mukhâlafat li al-hawâdits (berbeda dengan makhluk), qiyâmuhu binafsih (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa), qudrah (kuasa), irâdah (berkehendak), ilmu (mengetahui) hayat (hidup), sama’ (mendengar), basar (melihar), kalâm (berkata), qâdiran (yang berkuasa), mûridan (yang berkehendak), ‘âliman (yang mengetahui), hayyan (yang hidup), sâmian (yang mendengar), basîran (yang melihat), mutakalliman (yang berbicara) (al-Sinkili, t.th: 3).

Keduapuluh sifat wajib tersebut, menurut al-Sinkîlî, dapat dikelompokkkan menjadi empat bagian yaitu: (1) nafsiyyah yang terdiri dari sifat wujûd (ada) (2) salbiyyah yang terdiri dari sifat qidam (dahulu), baqâ’ (kekal), mukhâlafat li al-hawâdits (berbeda dengan makhluk), qiyâmuhu binafsih (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa), (3) ma’ani yang terdiri dari qudrah (kuasa), irâdah (berkehendak), ilmu (mengetahui) hayat (hidup), sama’ (mendengar), basar (melihar), kalâm (berkata), dan (4) ma’nawiyah yang terdiri dari qâdiran (yang berkuasa), mûridan (yang berkehendak), ‘âliman (yang mengetahui), hayyan (yang hidup), sâmian (yang mendengar), basîran (yang melihat), mutakalliman (yang berbicara) (al-Sinkili, t.th: 3).

Selain sifat wajib tersebut, Allah juga mempunyai sifat mustahil, yakni kebalikan dari sifat wajib yang juga berjumlah dua puluh. Sedangkan sifat jaiz bagi Allah hanya satu yaitu berbuat atau tidak berbuat-Nya Allah Ta’ala terhadap sesuatu.

Sebagai pengakuan pada rasul, maka juga harus mengetahui sifat-sifat wajib, mustahil maupun jaiz bagi rasul. Sifat wajib bagi rasul ada empat yaitu: siddiq (benar), amânah (terpercaya), tabligh (menyampaikan perintah), fatânah (cerdas). Sedangkan sifat mustahilnya juga ada empat yaitu: kidzib (dusta), khiyânah (berkhianat), kitman (menyembunyikan perintah), dan balâdah (tolol). Sifat jaiz bagi rasul adalah sifat-sifat kemanusiaan (al-Sinkili, t.th: 3-4).

Ketika membahas kalimah tauhid, la ilaha illah Allah, al-Sinkîlî menyebutkan nama-nama kalimah tauhid di antaranya kalimah ikhlash, kalimah taqwa, kalimah thayyibah, kalimah urwah al-wutsqa dan kalimah tsaman al-jannah. Hal tersebut dapat dipahami dari hadis rasul yang berbunyi: “Sungguh kamu sekalian akan masuk surga kecuali orang yang enggan dan yang lari seperti larinya unta dari tuannya. (sahabat) bertanya, siapa orang yang itu ya rasul Allah?, Rasul menjawab: “Orang yang tidak menyebut lâ ilâha illâ Allâh, maka perbanyaklah menyebut lâ ilâha illâ Allâh sebelum dihalangi antara kamu dan antaranya. Sebab kalimat tersebut adalah kalimat tauhid, kalimat ikhlash, kalimat taqwa, kalimat thayyibah, da’wh al-haq, urwah al-wutsqa dan tsaman al-jannah.” (al-Sinkili, t.th: 7).

Untuk menunjukkan berbagai macam keutamaan menyebut kalimat tauhid, al-Sinkîlî banyak mengutip hadis-hadis Nabi Saw antara lain:” Siapa yang mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh dengan ikhlas akan masuk surga.” “Siapa yang mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh dengan ikhlas dan melanjutkannya dengan pen-ta’zhiman, maka Allah akan mengampuni beribu-ribu dosa besarnya, dikatakan pula apabila tidak mempunyai dosa-dosa besar, maka akan diampuni baginya dosa kedua orang tuanya, dosa keluarganya dan dosa tetangganya.”

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abi Dzar RA “saya berkata: “Ya Rasul Allah wasiatkankanlah (sesuatu) kepadaku, saya wasistkan kepadamu dengan taqwa kepada Allah, apabila engkau berbuat jelek, maka ikutkanlah dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya, Ya Rasul Allah, apakah (mengucap) lâ ilâha illâ Allâh termasuk kebaikan juga, Rasul menjawab: “ya, dari paling utamanya kebaikan”. “Paling utamanya dzikir adalah lâ ilâha illâ Allâh dan paling utamanya do’a adalah al-hamdu li Allah.” “Do’a yang paling utama pada hari arafah dan paling utamanya sesuatu yang saya dan para nabi nabi sebelumku ucapkan adalah lâ ilâha illâ Allâh wahdahu la syarika lahu.” (al-Sinkili, t.th: 8).

Dzikir dan Tata Caranya

Secara bahasa dzikir diartikan dengan ingat. Istilah dzikr Allah dalam Islam secara umum diartikan dengan mengingat dan menyebut asma Allah baik dengan baik dengan lisan maupun dengan hati. Dzikir Allah adalah menjauhkan manusia dari lupa kepada-Nya.

Al-Sinkîlî menyatakan bahwa dzikr Allah adakalanya berbentuk dzikr hasanat dan ada juga dzikr darajat. Bedanya, dzikir hasanat tidak membutuhkan tata cara tertentu, sedangkan dzikir derajat membutuhkan tata cara tertentu. Dzikir yang kedua inilah yang banyak dibahas oleh al-Sinkîlî (al-Sinkili, t.th: 9).

Dengan mengutip pendapat para ulama terdahulu, al-Sinkîlî menyatakan adab-adab dzikir yaitu: Pertama, bertaubah dari segala macam maksiat, kedua mandi atau berwudhu, ketiga memakai pakaian yang baik yakni pakaian yang halal dan harum, keempat memilih tempat yang kelam, kelima, memberi wangi-wangian di tempat dzikir, keenam, duduk bersila, ketujuh meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha, kedelapan, memejamkan kedua mata, Kesembilan, membayangkan wajah syekhnya, kesepuluh, minta tolong syekhnya dengan hatinya sampai memperoleh pertolongan atau berkah, kesebelas, mengi’tikadkan bahwa minta tolong syekhnya serasa minta tolong kepada Nabi Muhammad SAW, kedua belas diam sampai menghasilkan shidq, ketiga belas ikhlas yakni memaksudkan apa yang dilakukannya hanya untuk Allah, keempat belas, menyebut lâ ilâha illâ Allâh dengan ta’dzim dan keras dengan menaikkan kepalanya ketika menyebut lâ ilâha dan menundukkan ke hatinya ketika menyebut illâ Allâh, kelima belas, menghadirkan makna lâ ilâha illâ Allâh dalam hatinya. Dalam menghadirkan makna ini ada tiga macam makna utama yaitu, la ma’buda ahadun illâ Allâh (tidak ada yang disembah oleh sesorang seseorang kecuali Allah), la matluba illâ Allâh (tidak ada yang dicari selain Allah) dan la maujûda illâ Allâh (tidak ada yang maujud dkecuali Allah). Makna yang pertama diperuntukkan bagi mubtadi’ (sufi pemula), makna kedua untuk mutawassith (orang yang tahap pertengahan), dan makna ketiga untuk muntahi (orang yang tertinggi); Keenam belas, menafikan segala sesuatu dari hatinya selain Allah, ketujuh belas, diam dengan tetap menghadirkan Allah dalam hatinya (al-Sinkili, t.th: 10-11).

Bila dilihat dari sisi caranya, dzikir dibagi menjadi dua macam, pertama dzikr jahr (keras) dan kedua dzikr sirr (pelan). Mengenai dzikr jahr, al-Sinkîlî juga mengikuti keterangan imam Syafi’i, imam Ahmad bin Hanbal dan imam Malik, terutama yang dimuat dalam kitab ittijah al-munîb al-awwah bi fadl al-jahr bi dzikr Allah. Di antara dalil yang digunakan untuk menunjukkan keutamaan dzikr jahr daripada dzikr sirr antara lain: “Apabila kalian telah melaksanakan salat, maka berzikirlah kalian kepada Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.” Selain itu, al-Sinkîlî juga mengutip perkataan ibn Abbas yang berbunyi:” Berzikirlah kalian kepada Allah, sehingga orang lain mengatakan engkau gila.” Namun demikian, jahr yang dimaksud bukan jahr yang tidak punya aturan, tetapi harus sesuai dengan dituasi dan kondisi (muqtadla al-hal).

Dzikir yang dimaksud adalah dzikr nafy itsbat (lâ ilâha illâ Allâh). Dalam mengucap zikir ini, orang yang berzikir haruslah duduk bersila dengan meletakkan kedua telapak tangan dengan jari-jari terbuka di tas kedua paha. Selanjutnya mengangkat kepada ke arah kelingking tangan kiri dengan menyebut lâ ilâha, lalu memalingkan kepala ke arah bahu kanan disertai dengan mengucap lafaz illâ Allâh.

Dengan melakukan dzikir tersebut, maka seseorang (murid) akan merasakan bahwa dirinya dan alam ini adalah fana’ disertai dengan adanya keyakinan bahwa hanya Allah lah yang baqa’ serta timbul kesadaran segala sesuatu akan kembali kepada-Nya, bahkan juga pada keyakinan bahwa tiada lah sesuatu yang wujud melainkan Allah SWT. Inilah, menurut al-Sinkîlî, yang menjadi tujuan orang-orang yang menapaki jalan Allah.

Selain dzikr jahr juga dan dzikr qalbi, tetapi menurut al-Sinkîlî , yang demikian itu butuh pada petunjuk guru. Juga dzikr ibrah yang dilakukan dengan memejamkan kedua mata sambil sesekali membuka mata dan melihat sesuatu serta dengan men-tasawwur-kan ism dzat. Apabila dzikir-dzikir tersebut dilakukan selama empat puluh (40) hari, niscaya akan nyata baginya wujud yang muthlak baik pada dzahir maupun batinnya. Mengenai cara men-tasawwur-kan ism dzat yaitu men-tasawwur-kan lafadz jalalah dalam hati sanu barinya. Kemudian semua itu harus disertai dengan petunjuk guru, sebab bila tidak maka syaitan yang akan menjadi gurunya (al-Sinkili, t.th: 16).

Sedangkan yang dimaksud dengan dzikir sirr yaitu dengan al-takhallush min al-ghaflah wa al-nisyan bi dawami wa hudluri al-qalbi ma’a al-haqq yakni menyepikan diri dari lupa dengan senantiasa menghadirkan hati beserta Haqq SWT.

Talqin dan Bai’ah

Dalam dunia tarekat, seseorang yang ingin menjadi murid harus melalui prosesi pengucapan bai’ah dan talqin. Pembai’atan adalah prosesi perjanjian antara murid terhadap mursyid. Seorang murid menyeragkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Selanjutnya mursyid menerimanya dengan mengajarkan zikir (talqin al-dzikr) kepada sang murid.

Al-Sinkîlî menyatakan ada dua macam bai’ah, yaitu bai’ah fardiyyah (pembaiatan individual) dan bai’ah jam’iyyah (kolektif). Kedua pembaitan tersebut sama-sama mempunyai landasan dalam hadis Nabi saw. Pembai’atan individual didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib yang berbunyi: “Ali berkata: Ya Rasulullah, tunjukkanlah cara terdekat untuk mencapai Allah, paling mudahbagi hamba-Nya dan paling baik menurut-Nya. Nabi menjawab, “Engkau harus berzikir secara terus menerus di tempat sunyi. “Bagaimana caranya ya Rasulullah”, tanya Ali. Nabi menjawab, “Pejamkan kedua matamu dan dengarkan (kata-kata) dariku tiga kali dan tirukanlah ucapanku tiga kali dan saya akan mendengarkar ucapanmu. Lalu Nabi mengucaapkan lâ ilâha illâ Allâh sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras, sedangkan Ali mendengarkan. Kemudian, Ali mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh tiga kali dalam keadaan mata terpejam dan dengan suara yang keras juga, sedang Nabi mendengarkannya (al-Sinkili, t.th: 37).

Sedangkan pembaitan secara kolektif didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Syaddad ibn Uwais yangberbunyi: “Syaddad berkata: “Kami bersama Nabi Saw. Nabi berkata, “Adakah di antara kalian orang asing (ahli kitab)?, kami menjawab, tidak ada ya Rasul,”. Kemudian Rasul memerintahkan kami untuk memejamkan mata dan berkata, “Angkatlah kedua tangan kalian dan ucapkanlah lâ ilâha illâ Allâh, kemudian, kami mengangkat tangan sesaat. Rasul berkata, “Segala puji bagi Allah, ya Allah sesungguhnya engkau telah membaiat saya dengan kalimah ini dan memerintahkanku dengan kalimah ini masuk surga, sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji. Rasul melanjutkan ucapannya, ‘Bukankah telah saya kabarkan bahwa Allah sungguh telah mengampuni kalian.” (al-Sinkili, t.th: 37).

Sebelum prosesi talqin, calon murid harus mengambil (ijazah) dzikir yang selama tiga malam harus tidur dalam keadaan suci yakni dengan cara mengambil wudhu dan melakukan sembahyang enam rakaat. Dua rakaat pertama dihadiahkan pahalanya kepada Nabi SAW dengan meminta pertolongan supaya tercapai hajatnya. Pada rakaat pertama shalat tersebut setelah membaca surat al-fatihah disuruh membaca surat al-qadr (inna anzalnahu fi lailat al-qadr) sebanyak enam kali dan pada rakaat kedua sebanyak dua kali. Dua raat berikutnya dihadiahkan pahalanya kepada semua nabi dan rasul, para keluarganya, sahabat-sahabatnya serta semua orang yangmengikuti mereka disertai dengan minta tolong tercapainya keinginannya itu. Pada rakaat pertama shalat tersebut setelah membaca al-fatihah disuruh membaca surat al-Kafirun (qul yâ ayyuha al-kâfirûn) sebanyak lima kali, sedangkan pada rakaat keduasebanyak tiga kali. Sedangkan dua rakaat terakhir pahalanya dihadiahkan kepada guru dan kepada semua gurunya guru serta, para keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kepada semua orang yang mengikutinya. Pada rakaat pertama shalat tersebut setelah membaca al-fatihah disuruh membaca surat al-Ikhlash (qul huwa Allâhu ahad) sebanyak empat kali, sedangkan pada rakaat kedua sebanyak dua kali (al-Sinkili, t.th: 39).

Kemudian, dilanjutkan dengan meminta pertolongan kepada mereka dan kepada Allah supaya dapat berhasil apa yang dimintanya. Setelah itu diperintahkan untuk membaca shalawat sebanyak sepuluh kali serta dengan membaca pada akhir yang sepuluh itu kalimat, “wa ala jami’i al-anbiya wa al-mursalîn wa ali kullin wa sahbihim wa ‘ammti al-mu’mininn ‘adada khalqi Allah bi dawâmi Allah. Setelah itu, duduk bersilah dan membaca “jaza Allah ‘anna sayyidana Muhammadan salla Allah ‘alaihi wa sallam ma huwa ahluh”.

Setelah itu, untuk kesempurnaan baiatnya, murid disuruh untuk memeringkan tidurnya pada sisi sebelah kanan dengan senantiasa menghadirkan Nabi SAW dengan seolah-oleh melihat beliau sambil terus berdzikir sebanyak-banyaknya. Adapun dzikir yang dimaksud adalah “Allahumma yâ Rabbi Muhammadin salli ‘ala Muhammadin wa ali Muhammadin wa ajzi Muhammadan ‘anni mâ huwa ahluh” sebanyak seribu kali, dan lâ ilâha illâ Allâh juga seribu kali. Kemudian membaca shalawat seratus kali yang berbilang dan diikuti dengan shalawat yang tidak berbilang sebanyak-banyaknya sampai ia tertidur begitu juga siang harinya. Setelah itu, murid menceritakan semua mimpi yang terjadi dalam tidurnya kepada sang guru.

Adapun cara baiat adalah pertama seorang murid harus menjulurkan tangannya dan meletakkannya di bawah tangan gurunya, tetapi jika murid perempuan maka harus ada sesuatu yang mengantarai, baik berupa kain atau air dalam bejana, kemudian guru membaca ayat 10 surat al-Fath/48, “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Setelah guru selesai membaca ayat tersebut, lalu murid diperintahkan untuk membaca: “Saya rela Allah menjadi Tuhaku, dan Islam menjadi agamaku, Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi, al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan pada kedua tangan syekh sebagai syekh, pendidik dan dalil serta dengan orang-orang fakir yang menjadi pengikut sebagai teman bagiku dengan segala yang ada pada mereka, ketaatan mempersatukan kami dan kemaksiatan memisahkan kami.”

Ikrar tersebut dibaca sebanyak tiga kali. Lalu kemudian guru dan murid membaca istigfarsebanyak tiga kali, lalu membaca tiga kali dengan maksud mengajarkan dzikir tersebut pada murid dengan baiah, lalu murid mengatatakan lailaha illa Allah seperti yangtelah diucapkan gurunya, kemudian guru membaca do’a: Ya, Allah, Ambil dan terima darinya serta bukakanlah padanya pintu setiap kebaikan sebaimana telah Engkau bukakan kepada nabi-nab-Mu dan hamba-hamba-Mu yang saleh.”

Setelah itu guru juga memberikan wirid-wirid yang sesuai dengan murid itu, paling tidak dzikir lâ ilâha illâ Allâh, lalu shalat subuh seribu kali, shalat isya seribu kali, sembahyang tahajjud seribu kali, amalan-amalan tersebut harus dimulai dan diakhiri dengan shalawat sebanyak sepuluh kali, tetapi jika murid tersebut merasa sukar maka jumlah yang seribu itu dapat diganti dengan seratus kali saja.

Perlu diketahui bahwa yang berhak untuk mentalqinkan dan membai’ah adalah syekh yang sudah memperoleh ijazah dan mempunyai dzauq (perasa). Dalam hal ini al-Sinkîlî mengumpamakan seorang syekh tak ubahnya seorang thabib, untuk dapat mengobati seorang thabib harus mempunyai banyak ilmu tentang keadaan serta tentang rempah-rempah yang tidak hanya dari berita-berita sepintas, sebab dia akan mengobati orang yang sakit, apalagi seorang syekh yang akan memanusiakan manusia, sudah pasti harus mempunyai dzauq yang baik.

Amalan-Amalan dalam Menempuh Jalan Sufi

Menjadi penempuh jalan Allah (sâlik) identik dengan banyak melakukan berbagai macam amalan-amalan yang dianggap senantiasa dapat mendekatkan diri pada Allah. Karena itu, al-Sinkîlî menunjukkan berbagai macam amalan-amalan sunnah yang harus ditempuh dan dikerjakan oleh salik. Dengan mengutip ungkapan yang dimuat dalam kitab Kalimah al-Wushtha, al-Sinkîlî mengatakan bahwa orang yang mengamalkan wirid-wirid mempunyai pahala yang amat besar, termasuk dari mengamalkan wirid adalah orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang lain. Besarnya pahala itu didasarkan pada hadits Nabi Saw: “Orang yang mengajarkan kebaikan akan minta ampun baginya segala sesuatu sampai ikan dalam laut sekalipun.” (al-Sinkili, t.th: 42).

Jadi hadis tersebut menyatakan menyiratkan bahwa orang yang mengajarkan kebajikan termasuk di dalamnya orang yang mengajarkan wirid. Orang yang mengajarkan itu juga ternasuk yang meminta ampun, begitu juga orang yang ingkar termasuk juga di dalamnya, sebab termasuk juga dalam segala sesuatu.

Dalam menguraikan amalan-amalan ini, al-Sinkîlî pertama-tama menguraikan tentang wirid yang harus dibaca sehabis sembahyang lima waktu. Amalan-amalan seperti itu yang sering dikerjakan kebanyakan orang yang ada di Madinah kala itu. Sebagaimana juga Syekh Burhan al-Din Mula Ibrahim Kurani (w. 1101 H/1690 M) melakukan wirid berikut: membaca istighfar sebanyak 3 kali; membaca Allahumma anta al-salâm dan seterusnya; membaca al-Fatihah; membaca wa ilâhukum ilahun wahid dilajutkan dengan ayat kursi; membaca Subahana Allah 33 kali, membaca al-hamduli Allah 33 kali, membaca Allah akbar 33 kali, membaca lâ ilâha illâ Allâh wahdahu la syarika lah…, membaca shalawat, membaca lâ ilâha illâ Allâh Allah 10 kali, dan terakhir membaca do’a (al-Sinkili, t.th: 45-46).

Tetapi kalau sesudah sembahyang subuh dilanjutkan dengan berbagai macam wirid lainnya hingga terbit mata hari dan diakhiri dengan shalat 2 rakaat. Demikian ini didasarkan pada hadis Nabi Saw: “Siapa yang shalat subuh dengan berjamaah kemudian duduk dengan dzikir pada Allah hingga terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, maka baginya pahala seperi pahala haji dan umrah dengan sempurna dengan sempurna dengan sempurna.

Setelah shalat dua rakaat, apa orang tersebut mempunyai hajat yang belum kesampaian hendaklah berdoa dengan menyebutkan hajatnya, kemudian dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau berdzikir melaksanakan shalat tasbih. Ketika si salik berada pada seperempat hari dianjurkan untuk melaksanakan shalat dhuha paling sedikir 2 rakaat; pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca surat al-Sayms dan pada rakaat kedua membaca surat al-Dhuha. Setelah setelai shalat dilanjutkan dengan istigfar dan membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW, kemudian dilanjutkan degan membaca tasbih, tahmid, takbir dan hawqala sebanyak 10 kali lalu berdoa (al-Sinkili, t.th: 48)

Menurut pendapat lain bahwa setelah sahalat subuh dianjurkan untuk membaca surat Yasin dan surat al-Tabarak, sedangkan setelah shalat maghrib membaca selain kedua surat itu juga ditambah dengan surat Hamim al-Sajdah dan surat al-Waqi’ah. Amalan-amalan tersebut mengambil cerita dari Jabir RA bahwasanya Rasulullah tidak pernah tidur sebelum membaca surat al-Sajdah dan surat al-Tabârak. Selain itu Nabi juga berkata:” Alif Lam Mim tanzilu datang pada hari kiamat dengan membentangkan dua sayap menaungi orang yang membacanya dan mengatakan padanya tiada jalan atasnya tiada jalan atasnya.”

Hadis Nabi juga mengatakan: “Artinya: Siapa saja yang membaca tabarak alladzi biyadihi al-mulk dan alif lam mim al-sajdah di antara maghrib dan isya’, maka seakan-akan ia shalat pada malam qadar.” (al-Sinkili, t.th: 49)

E. Penutup

Pokok-pokok bimbingan sufi al-Sinkili menjadi amat penting bagi orang-orang yang ingin menempuh jalan sufi. Bimbingan tersebut, mempunyai kaitan erat dengan para pengikut Tarekat Syattariyah yang diajarkan oleh al-Sinkili. Bimbingan jalan sufi al-Sinkili akhirnya dapat tersebar, melalui murid-muridnya, antara lain Burhân al-Dîn Ulakan (w. 1104H/1692 M) yang kemudian lebih dikenal dengan Tuan Ulakan. Ia belajar beberapa tahun kepada al-Sinkilî dan selanjutnya menjadi penyebar Islam di Sumatera. Ia mendirikan surau Syattâriyah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan sejenis ribat di Ulakan. Dalam waktu yang relatif singkat, surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minagkabau. Surau Ulakan menarik banyak murid dari dari seluruh Minangkabau, mereka mengambil keahlian dalam berbagai cabang disiplin Islam yang pada gilirannya mereka juga mendirikan surau-surau di tempat kelahiran mereka.

‘Abd al-Muhyi yang berasal dari Pamijahan Jawa Barat juga merupakan murid al-Sinkilî. Melalui muridnya yang satu ini, Tarekat Syattâriyah menjadi tersebar di Jawa Barat. Tidak ada sumber yang menyebutkan tahun kelahiran ‘Abd al-Muhyi, tetapi para pemerhati dan peneliti sepakat menyatakan bahwa ia belajar kepada al-Sinkilî di Aceh sebelum menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dia juga diriwayatkan mengadakan perjalanan ke Bagdad untuk mengunjungi pusara Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jaylânî, pendiri tarekat Qadiriyah. Setelah kembali dari tanah suci, ia menetap di Pamijahan, Jawa Barat. Di tempat ini ia memainkan peranan penting dalam mengubah kepercayaan masyarakat setempat dari animisme menjadi Islam, selain aktif juga menyebarkan Tarekat Syathariyah.

Murid al-Sinkilî lainnya yang terkenal di Semenanjung Melayu adalah ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abd Allâh (w. 1149 H/1736 M) yang lebih dikenal dengan Tok Pulau Mas dari Trengganu. Dikatakan bahwa ‘Abd al-Mâlik belajar kepada al-Sinkili di Aceh sebelum ia melanjutkan pendidikannya ke Haramain.

Murid lainnya adalah Dawud al-Jawi al-Fanshuri ibn Islmail ibn Agha Musthafa ibn Agha ‘Ali al-Rumi. Ia diperkirakan berasal dari keturunan Turki dengan ibu dari Melayu. Diperkirakan ayahnya merupakan salah seorang serdadu bayaran Turki yang datang ke Aceh untuk membantu Kesultanan Aceh dalam melawan Portugis. Dawud al-Jawi disinyalir sebagai khalifah utama al-Sinkilî dan mendirikan sebuah Dayah, lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh bersama al-Sinkili.

Melalui murid-muridnya inilah, tersebarlah ajaran dan pemikiran al-Sinkilî ke berbagai pelosok Nusantara, terutama tarekat Syathariyah. Menurut Hawash Abdullah, tarekat ini tidak mungkin akan hilang, sebab tarekat itu merupakan ajaran yang benar, walaupun banyak orang yang menganggap bahwa tarekat ini adalah bid’ah.

Referensi:

‘Abd al-Râuf al-Sinkîlî, Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn, Perpustakaan Nasional Jakarta, ML, 103 B, fol. 112.

A. Hasymi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana” dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun (Medan: Waspada, 1980).

Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 (Sebuah Essei untuk 70 Tahun Prof. Dr. Harun Nasution)” dalam Aqib Suminto (ed.) Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1989).

----------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Jakarta, 1996).

----------, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Rosdakarya, 1999).

Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara (Surabaya: Al-Ikhlas).

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996).

----------, Kitab Kuning (Bandung: Mizan, 1996).

Oman Fathurrahman, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandang: Mizan, 1999)

Peunoh Daly, “Naskah Mir’atut Thullab Karya Abdurrauf Singkel, dalam Agama, Budaya dan Masyarakat (Jakarta: Balitbang Depag RI, 1980).

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997).