Minggu, 13 Januari 2008

MENAPAK JALAN SUFI (Bagian Pertama)

A. Pendahuluan

Berdasarkan Katalog Manuskrip Nusantara, ternyata terdapat banyak naskah yang merupakan karya para penulis Islam Nusantara di masa lampau. Sayangnya, karya-karya tersebut sampai saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang sepantasnya. Padahal, karya-karya tersebut dapat dijadikan landasan untuk memotret secara jelas pemikiran keislaman yang berkembang di Indonesia, terutama pada masa-masa awal pertumbuhannya. Juga untuk menepis anggapan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang telah berada dalam posisi lemah, sehingga tidak mampu lagi menghasilkan karya-karya, kecuali mengikuti pemikiran yang telah baku dari Timur Tengah sebagai tempat lahirnya Islam.

Di antara karya-karya tersebut, sebut saja misalnya yang ditulis para intelektual Aceh abad 16 dan 17 seperti Hamzah Fanshuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili. Yang disebut terakhir, Abd al-Rauf al-Sinkili (selanjutnya disebut al-Sinkili) adalah seorang intelektual sejati yang produktif dalam menghasilkan karya-karya berbobot. Sepanjang karirnya di Aceh, yaitu sejak 1661 hingga 1690-an, ia –yang selama karirnya banyak mendapat perlindungan dan dukungan dari para Sultanah-- telah menuliskan puluhan karyanya, yang berkaitan dengan seluruh bidang kajian Islam, seperti fiqh, tafsir, hadis, kalam, dan tasawuf. Karya-karya tersebut, ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan ada pula yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, karya-karyanya tersebut lebih banyak ditulis dalam bahasa Arab, sebab ia menyadari bahwa bahasa Melayunya tidak sebagus bahasa Arabnya, karena ia tinggal cukup lama di Arab. Pendapat Azyumardi Azra tersebut, nampaknya kurang tepat, sebab menurut penelusuran Oman Fathurrahman, ternyata karya-karya al-Sinkili lebih banyak yang ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi menggunakan huruf Arab atau yang lebih dikenal dengan Arab Jawi atau Arab Melayu.

Pemikiran al-Sinkili, terutama dalam bidang tasawuf, menjadi menarik untuk diangkat sebab; pertama, al-Sinkili hidup dalam suasana iklim pemikiran tasawuf yang habis berseteru, terutama antara pengikut Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani yang dikenal dengan tasawuf wujudiyah dengan pengikut Nur al-Din al-Raniri yang lebih mengedepankan syari’ah. Perseteruan tersebut, bahkan, telah menyebabkan tragedi besar terjadi di Aceh, yakni berupa pembakaran karya-karya serta pembuhuhan terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani oleh al-Raniri dan pengikutnya; kedua, al-Sinkili lama tinggal di Arab dan bersentuhan dengan perkembangan intelektual Islam secara luas, apakah perseteruan antara tasawuf dan tarekat dalam dunia Islam, terutama di Haramain, banyak memberikan pengalaman padanya dalam menyelesaikan konflik di Aceh; ketiga, seperti kebanyakan murid-murid Nusantara lainya yang belajar di Arab, umumnya mereka banyak mencari jubah (khirqah) tarekat dari berbagai tarekat yag berkembang di sana waktu itu, tetapi al-Sinkili nampaknya cenderung untuk mengembangkan salah satu tarekat saja yaitu Syatariyah. Padahal tarekat ini, menurut beberapa penelitian, lebih kental dengan nuansa wujudiyah.

Kepiawaian al-Sinkilî dalam bidang tasawuf, misalnya ditulis dalam karyanya Daqaiq al-Huruf. Karyanya ini bahkan disinyalir mendapat pengakuan langsung dari Annimarie Schimmel sebagai karya yang sangat autentik dan cukup berillian. Krya-karya lainnya seperti Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Quayasy, Bayan Tajalli, Umdat al-Ansab, Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin dan masih banyak yang lainnnya.

Kajian penelitian ini lebih difokuskan pada pemikiran al-Sinkilî yang terdapat dalam kitab ‘Umdat al-Muhtajîn ilâ Suluk Maslak al-Mufradîn. Kitab ini banyak memuat bimbingan al-Sinkilî untuk menjadi sufi.

B. ‘Abd al-Râuf al-Sinkîlî: Riwayat Hidup dan Karyanya

Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Râuf ibn ‘Ali al- Jâwî al-Fansûrî al-Sinkilî (Selanjutnya di sebut al-Sinkili). Dari namanya tampak bahwa ia adalah orang Melayu yang berasal dari daerah Fansur, Sinkil di wilayah pantai Barat Laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, karena data-data tersebut tidak didapatkan dalam berbagai karyanya sendiri maupun karya murid-muridnya; namun demikian bukan berarti tidak ada tahun yang ditunjuk untuk memperkirakan kelahirannya. Azyumardi Azra (1994: 189) dengan mengutip hasil kalkulasi Rinkes dari tahun kembalinya al-Sinkili dari Timur Tengah, memperkirakan tahun 1024 H/1615 M sebagai tahun kelahirannya. Perkiraan ini yang akhirnya banyak dipegangi oleh para ahli tentang al-Sinkilî.

Menurut Hasjmi, nenek moyang al-Sinkilî berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad 13. Untuk selanjutnya mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantai Barat Pulau Sumatra. Sedangkan ayahnya menurut Hasjmi adalah kakak dari Hamzah Fansûrî, seorang tokoh tasawuf Aceh yang menyebarkan ajaran wujudiyah, namun, pendapat Hasjmi tersebut, diragukan oleh Azyumardi Azra sebab tidak ada sumber yang akurat yang mendukung pendapat tersebut. Menurut Azyumardi tidak menutup kemungkinan adanya hubungan famili antara keduanya mengingat dalam sebagian karya-karyanya sering dikatakan dengan yang berbangsa Hamzah Fansûrî (Oman Fathurrahman, 1999: 26).

Dugaan Azyumardi Azra tersebut, menurut Oman Fathurrahman (1999: 26), peneliti salah satu kitab al-Sinkîlî, Tanbîh al-Mâsyî, masih bisa dipertanyakan terutama jika dikaitkan dengan keterangan Voorhoeve yang menyatakan bahwa pernyataan “yang berbangsa Hamzah Fansûrî” atau yang dalam naskah-naskah Jawa ditulis sebagai “kang abangsa Syaikh Hamzah Fansûrî” di akhir nama al-Sinkilî itu tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya hubungan langsung antara al-Sinkilî dengan penyair mistik tersebut, baik hubungan guru-murid, apalagi hubungan keluarga. Hal tersebut lebih dimaksudkan untuk menunjuk pada tempat seluruh pantai Barat Sumatra, termasuk Sinkil dan Fansur, namun, karena pada tahap berikutnya ada seorang Sufi terkenal yang berasal dari Fansur, Hamzah Fansûrî, maka pernyataan “yang berbangsa Fansuri” akhirnya dikaitkan orang dengan “yang berbangsa Hamzah Fansûrî”.

Peunoh Daly dalam Azra (1994: 190) justru memberikan keterangan yang berbeda dengan ketarangan tersebut di atas, menurutnya ayah al-Sinkilî, Syekh Ali (Fansur) adalah orang Arab yang telah mempersunting seorang wanita Fansur yang bertempat tinggal di Sinkil yang menjadi tempat al-Sinkilî dilahirkan. Dengan demikian, berarti ayah al-Sinkilî bukan orang Melayu, tetapi orang pendatang yang berasal dari Arab. Sayangngnya, kisah lebih rinci mengnai ayah al-Sinkilî tidak didukung oleh data-data yang dapat dipercaya, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan yang dikaitkan dengan fakta-fakta lainnya.

Pendidikan awal al-Sinkilî dimulai dari lingkungan keluarganya, terutama dari ayahnya. Ayahnya dikenal sebagai orang alim yang mendirikan madrasah yang menjadi tempat belajar para murid di Kesultanan Aceh. Kemudian al-Sinkilî melanjutkan pendidikannya ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh untuk menimba ilmu dari para ulama yang ada di sana. Tentu saja ia tidak bertemu dengan ulama kenamaan Aceh, Hamzah Fansûrî, sebab dia telah lebih dahulu meninggal, sekitar tahun 1016 H/1607 M, namun ada kemungkinan bertemu dengan Sufi lainnya, Syams al-Din al-Sumatrani wafat tahun 1040 H/1630 M, sementara al-Sinkilî pasti berada dalam usia belasan tahun.

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, perlu diketahui bahwa waktu itu di Aceh telah terjadi pertikaian antara penganut doktrin wujudiyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansûrî suri dan Syams al-Dîin al-Sumatrani dengan al-Ranîrî dan para pengikutnya. Pastilah al-Sinkilî mengetahui persis konflik tersebut dan bagaimana penganiayaan yang dilakukan terhadap pengikut wujudiyah serta pembakaran buku-buku Hamzah Fansûrî. Latar belakang itu, boleh jadi mempunyai pengaruh besar dalam diri al-Sinkilî untuk mengambil jalan tengah yang moderat dalam mengajarkan tasawuf.

Selanjutnya al-Sinkilî mengembara ke tanah Arab untuk waktu 19 tahun. Ia mengelana ke berbagai tempat di Arab di antaranya Jeddah, Mekkah, Mokha, Bait al-Faqih dan lain-lainnya. Hampir pada semua tempat yang dihampiri ia belajar pada guru-guru terkenal yang akhirnya banyak mewarnai hidupnya.

Menurut Azra, paling tidak al-Sinkilî mencatat 19 orang guru sebagai tempat menimba ilmu keislaman dan 27 orang ulama yang mempunyai kontak pribadi dengannya. Guru-guru dan ulama-ulama tersebut di sepanjang rute perjalanan haji, berawal dari Dhuha, Yaman, Jeddah, Mekkah dan akhirnya Madinah. Hanya saja yang paling berpengaruh terhadap pemikirannya, terutama dalam bidang tasawuf adalah Ahmad Qusyasyî (w. 1071 H/1660 M) dan Ibrâhîm al-Kuranî (w. 1101 H/1690 M). Yang disebut pertama, Ahmad Qusyasyî adalah seorang ulama terkenal di Madinah. Darinya ia banyak belajar ilmu-ilmu batin dan ilmu-ilmu terkait lainnya sampai ia mendapatkan ijazah dan diangkat menjadi khalifah Tarekat Syattâriyah dan Qadiriyah. Setelah al-Qusyasyî meninggal, barulah ia belajar pada Ibrâhîm al-Kuranî, terutama tentang ilmu-ilmu keislaman selain tasawuf. Dengan kata lain, al-Qusyasyi adalah guru spiritual dan al-Kuranî adalah guru intelektual.

Menurut Azyumardi Azra (1994: 196) hubungan pribadi al-Sinkilî dengan al-Kuranî sangat dekat. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan al-Kurani untuk menulis Ithaf al-Dzâkî atas permintaan ashab al-Jawiyyin yang diduga kuat al-Sinkilî lah orangnya. Dugaan tersebut didasarkan pada ikatan intelektual dan pribadi mereka yang sangat erat. Ditambah lagi dengan kenyataan setelah al-Sinkilî kembali ke Aceh, ia juga masih meminta pendapat kepada al-Kuranî tentang cara-cara al-Raniri melakukan pembaharuan di Aceh.

Setelah kembali ke Indonesia, al-Sinkilî mengabdi di Kesultanan Aceh yang saat itu sedang diperintah oleh Sultanah Zakiyyat al-Dîn (1088-98 H/1678-88 M), bahkan Azra, walaupun tidak mempunyai data lengkap memperkirakan bahwa al-Sinkilî terlibat langsung dengan kejadian penerimaan delegasi dari Syarif Mekkah. Pada mulanya delegasi tersebut, sebenarnya dikirim Syarif untuk menemui Sultan Moghul, Aurangzeb, namun Aurangzeb di luar perkiraan menolok menerimanya tanpa alasan yang jelas. Akhirnya, delegasi putar haluan dan memindahkan tujuannya ke Aceh dengan membawa surat-surat dan hadiah untuk Sultanah. Sebaliknya, Sultanah dan rakyat Aceh juga memberikan banyak hadiah kepada Syarif yang antara lain berupa sebuah patung yang terbuat dari emas yang diambil dari sebuah peruntuhan istana dan masjid raya al-Rahman yang dilalap api pada masa Sultanah Naqiyyat al-Dîn.

Al-Sinkilî diperkirakan meninggal sekitar tahun 1105 H/1693 M dan dikuburkan dekat kuala atau mulut sungai Aceh. Atas penguburan di kuala itu, maka akhirnya ia dikenal sangat akrab dengan sebutan Syah Kuala. Pusara al-Sinkilî hingga saat ini menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh orang-orang Islam tidak hanya dari Aceh tetapi dari daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Banyak karangan-karangan yang dihubungkan dengan al-Sinkilî antara lain: Bidang fiqh: Mir’at al-Tullâb fi Taysîr al-Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (Cermin para Penuntut ilmu, untuk memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan, bahasa Melayu). Bayân al-Arkân (Penjelasan Rukun-rukun, Bahasa Melayu), Bidâyat al-Balîghah (Permulaan yang Sempurna, Bahasa Melayu), Majmû’ al-Masâ’il (Kumpulan Masalah, Bahasa Melayu), Fatîhah Syaikh ‘Abd al-Rauf (Metode Bacaan Fatihah Syaikh Abd al-Rauf, Bahasa Melayu), Tanbîh al-‘Amil fî Tahqîq al-Kalâm al-Nawâfil (Peringatan bagi Orang yang Mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat, Bahasa Melayu), Sebuah Uraian mengenai niat Sembahyang (Bahasa Melayu), Wasiyyah (tentang Wasiat-Wasiat Abd al-Rauf kepada Muridnya, Bahasa Melayu), Do’a yang Dianjurkan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf Kuala Aceh (Bahasa Melayu) dan, Sekaratul Maut (Tentang Hal-hal yang Dialami Manusia Menjelang Ajalnya, Bahasa Melayu) (Oman Fathurrahman, 1999: 29)

Bidang Tasawuf: Tanbîh al-Mâsyî al-Mansub ila Tarîq al-Qusyâsyî (Pedoman bagi orang yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi, Bahasa Melayu), ‘Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf, Bahasa Melayu), Sullâm al-Mustafidîn (Tanggapan Setiap orang yang Mencari Faidah, Bahasa Melayu), Piagam tentang Dzikir (Bahasa Melayu), Kifâyah al-Muhtajîn ila Masyârab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdat al-Wujûd (Bekal bagi Orangyang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdat al-Wujûd, Bahasa Melayu), Bayân Aqmad al-Masâ’il wa al-Sifat al-Wâjibah li Rabb al-Ard wa al-Samâwât (Penjelasan tentang Masalah-masalah Tersembunyi dan Sifat-sifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, Bahasa Melayu), Bayân Tajallî (Penjelasan Tajalli, Bahasa Melayu), Daqâ’iq al-Huruf (Kedalaman Makna Huruf, Bahasa Melayu), Risâlah Adab Murid akan Syaikh (Bahasa Arab dan Melayu), Munyah al-I’tiqâd (Cita-cita Keyakinan, Bahasa Melayu), Bayân al-Itlâq (Penjelasan Makna Istilah Itlâq, Bahasa Melayu), Risâlah A’yân al-Tsâbitah (Penjelasan tentang A’yan Tsabitah, Bahasa Melayu), Risalah Jalan Ma’rifatullah (Karangan tentang Jalan Menuju Makrifat Kepada Allah, Bahasa Melayu), Risâlah Mukhtasarah fi Bayân Syurut al-Syaikh wa al-Murîd (Karangan Ringkas tentang Syarat-syarat Guru dan Murid, Bahasa Melayu), Faidah yang tersebut di dalamnya Kaifiyah Mengucap Dzikir Lâ Ilâha illa Allâh (bahasa Melayu), Syair Ma’rifah (Bahasa Melayu), Otak Ilmu tasawuf (Bahasa Melayu), ‘Umdah al-Ansâb (Pohon Segala Nasab, Bahasa Melayu), Idah al-Bayân fi Tahqîq Masâ’il al-Adyân (Penjelasan dalam Menyatakan Masalah-masalah Agama, Bahasa Melayu), Ta’yid al-Bayan Hasyiyah Idah al-Bayân (Penegasan Penjelasan; Catatan atas Kitab Idah al-Bayan, Bahasa Melayu), Lubb al-Kasyf wa al-Bayân li Ma Yarahu al- Muhtadar bi al-‘Iyân (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang Dilihat Secara Terang-Terangan, Bahasa Arab dan Melayu. Risalah Simpan (Membahas Aspek-Aspek Sembahyang secara Mistis, Bahasa Melayu), dan Syattâriyyah (tentang Ajaran dan Tata Cara Dzikir Tarikat Syattariyah, Bahasa Melayu) (Oman Fathurrahman, 1999: 29)

Bidang Tafsir: Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawiy, yang merupakan Tafsir Pertama di dunia Islam dalam Bahasa Melayu, Bidang Hadis: Al-Arba’in Haditsan li al-Imam al-Nawawiyah (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, Bahasa Melayu), Al-Mawaidz al-Badî’ah (Petuah-petuah Berharga, Bahasa Melayu) (Azyumardi Azra, 1994: 205)

Al-Sinkilî adalah ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai Fiqh Mu’amalat. Melalui Mir’at al-Tullâb dia menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun Mir’at al-Tullâb tidak lagi digunakan di Nusantara dewasa ini, di masa lampau karya tersebut beredar luas. Hooker mengemukakan, Lumaran, kumpulan hukum Muslim yang digunakan kaum Muslim Maquidanao, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19, menjadikan Mir’at al-Tullâb sebagai salah satu acuan utamanya (Azyumardi Azra, 1994: 202).

Selain itu, al-Sinkilî juga mempunyai kontribusi yang luar biasa dalam bidang tafsir al-Qur’an. Dia adalah alim pertama di bagian dunia Islam ini yang bersedia memikul tugas besar mempersiapkan tafsir lengkap al-Qur’an dalam Bahasa Melayu. Telaah baru-baru ini menemukan bahwa sebelum dia, hanya ada sepenggal tafsir atas surah 18 (al-Kahf) yang diperkirakan ditulis pada masa Hamzah al-Fansurî atau Syams al-Dîn al-Samatranî, mengikuti tradisi tafsir al-Khâzin. Meski al-Sinkili tidak memberikan angka tahun penyelesaian karya tafsirnya yang berjudul Tarjumun al-Mustafid, tidak ada keraguan bahwa dia menulisnya semasa karirnya yang panjang di Aceh.

C. Sekilas tentang Kitab ‘Umadat al-Muhtajîn

‘Umdat al-Muhtajîn ilâ Suluk Maslak al-Mufradîn merupakan salah satu dari karya-karya al-Râuf al-Sinkîlî yang ditulis dalam bahasa Jawa (baca: Melayu) supaya dapat memudahkan para pembaca dalam memahami kitab tersebut. Kitab ini ditulis untuk menjadi pedoman bagi orang-orang ingin yang menempuh menuju Allah Swt.

Tidak ditemui keterangan yang jelas mengenai kapan kitab ini ditulis, diperkirakan kitab ini ditulis oleh al-Sinkîlî ketika berada di Aceh setelah pulang belajar di Haramain, Makkah dan Madinah. Sebab pada akhir kitab tersebut al-Sinkîlî menyebut guru-gurunya, tarekat yang didalami, dan juga murid-muridnya. Hal ini tentulah dilakukan setelah ia merampungkan pembelajarannya dan setelah ada orang-orang yang menimba ilmu darinya.

Dalam penelusuran penulis, ada enam naskah ‘Umdat al-Muhtajîn yang disimpan di Perpustakaan Nasional. Keenam naskah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1) ML 103, ukuran kertas 22x16 cm yang terdiri dari 88 halaman dengan kondisi masih baik dan bisa dibaca, 2) ML 107 B, ukuran kertas 20x15 cm dengan kondisi masih cukup jelas dan baik, 3) ML 301, ukuran kertas 20x16 cm, sebagian besar sudah lapuk, 4) ML 302, ukruan kertas 22x15 cm yang terdiri dari 158 halaman sebagian besar sudah lapuk, 5) ML 375 B, ukuran kertas 22x16 cm, sebagian besar telah lapuk, dan, 6) ML 814, ukuran kertas 331/2x21 cm yang terdiri dari 80 hakaman sebagian besar telah lapuk. Dalam kajian ini penulis memilih naskah ML 103, selain nskahnya lengkap, juga tulisannya cukup jelas untuk dibaca.

Al-Sinkîlî membagi kitab ini menjadi enam faidah atau pasal yang lazim digunakan penulis-penulis lain. Setelah muqaddimah al-Sinkîlî memulai faidah pertama tentang kewajiban mukallaf untuk mengetahui sifat waji, mustahil dan jaiz Allah, dan sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi rasul. Faidah kedua membahas tentang adab dan tata cara zikir. Faidah ketiga tentang hadis rasul yang berkaitan dengan keutamaan lâ ilâha illâ Allâh; Faidah keempat membahas tentang faidah zikir yang mendalam dengan lâ ilâha illâ Allâh; faidah kelima berisi penjaelasan tentang talqin guru pada murid dengan lâ ilâha illâ Allâh serta tata cara bai’ah dan talqin; Faidah keenam membahas salat-salat sunnah dan wirid yang harus ditekuni salik, dan faidah ketujuh membahas sifat-sifat pengikut tarekat dan penjelasan rasul tentang sifat-sifat mukmin. Sebelum khatimah, al-Sinkîlî membahas juga tentang guru-gurunya, tarekat yang telah ditekuninya, serta murid-murid yang telah belajar padanya (al-Sinkili, t.th). (berlanjut bagian kedua)


Tidak ada komentar: