Kamis, 23 Agustus 2007

“IJTIHAD” POLITIK TAREKAT SHIDDIQIYYAH

ِA. Pendahuluan

Selama ini ada anggapan bahwa tasawuf, termasuk di dalamnya tarekat, adalah “biang kerok” kemunduran Islam. Anggapan ini, barangkali berawal dari adanya pemahaman yang keliru tentang tasawuf. Dalam pandangan ini, nampaknya tasawuf dianggap sebagai ajaran yang anti dunia dan hanya mementingkan pribadi untuk ber-asyik ma’syuk dengan Tuhan. Anggapan seperti ini diperkuat dengan ungkapan-ungkapan sufistik yang bila dibaca secara sepintas memang membenarkan anggapan tersebut, sebut saja ungkapan al-Ghazali yang manyatakan bahwa siapapun yang minum dari gelas kekuasaan, ia pasti terlempar dari keikhlasaan seorang hamba.. Al-Ghazali mengutip penegasan itu sebagai satu tangkai besar dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang `abid. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu aktivitas kalbu seoarang sufi.

Memang, secara historis, sufi abad Pertengahan mungkin tidak banyak memunculkan peran politik sufi itu. Tapi, pada abad-abad berikutnya, gerakan tarekat justru seringkali muncul sebagai gerakan politik, dengan kekuatan mobilitas massa, terutama pada akhir Abad 19 dan awal Abad 20, ketika umat Islam berada dalam cengkeraman imperialisme. Dale F. Eickelman dalam Muslims Politics bahkan melihat jaringan ordo sufi sebagai gerakan politik yang sangat penting pada masa-masa kolonialisme.

Tarekat-tarekat sufi yang yang aktif dalam gerakan-gerakan tersebut di antaranya, tarekat Qadiriyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Rifa’iyah dan tarekat Badawiyah. Gerakan para sufi tersebut banyak mempunyai jasa dalam perjuangan politik negara-negara Islam di Afrika Utara (yang waktu itu di bawah kolonialisme Eropa) dan Asia Tengah (yang berada di bawah cengkeraman kekuasan Tsar Rusia).

Dalam kasus Indonesia, gerakan tarekat ternyata juga banyak mempunyai peran dalam mengusir penjajahan, sebut saja misalnya pemberontakan di Banten,[1] pemberontakan di Lombok, dan lain sebagainya.

Tulisan ini secara lebih jelas akan mengulas tentang keputusan-keputusan politik yang dilakukan oleh Tarekat Shiddiqiyyah dalam kancah percaturan politik di Indonesia. Percaturan politik dimaksud tidak hanya pada persoalan-persoalan politik praktis belaka, seperti pemilihan umum, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang bersifat idiologis dalam hal ini membicarakan dasar negara.

B. Tarekat Shiddiqiyyah: Tinjauan Sepintas

Tarekat ini berkembang dari sebuah desa yang bernama Losari Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pengembangan Tarekat Shiddiqiyyah dilakukan oleh seorang Kyai bernama Muchammad Muchtar bin Haji Much. Mu’thi,[2] yang telah mendapat pelajaran dan berbaiat pada seorang guru tarekat yang bernama Syekh Syuaib Jamali Al Banteni.

Sebelum berganti nama dengan Tarekat Shiddiqiyyah, tarekat ini bernama Tarekat Khalwatiyyah, lalu menjadi Tarekat Shiddiqiyyah–Khalwatiyyah, dan akhirnya menjadi Tarekat Shiddiqiyyah. Perubahan nama tersebut dilakukan kyai Much. Muchtar Mu’thi karena semata-mata menjalankan perintah gurunya yang memintanya untuk mengganti tarekat yang diajarkannya dengan Tarekat Shiddiqiyyah. Adapun Mata rantai legitimasi Tarekat Shiddiqiyyah sebagai berikut: Rabbul Arbab swt, Sayyidina Jibril as, Sayyidila Muhammad Rasulullah saw, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Syekh Imam Zainal Abidin, Syekh Muhammad al-Bakir, Syekh Imam Ja’far Shodiq, Musa al-Kadhim, Syekh Abil Hasan Ali, Syekh Ma’ruf al-Karkhi (Yazid Busthami), Syekh Siri Suqthi, Syekh Junaidi al-Baghdadi, Syekh Abi bakar as-Sibli, Syekh Abdul wachid at-Tamimi, Syekh Faruq at-Tustusi, Syekh Abi Hasan Ali al-Asykari, Syekh Abi Sa’id Mahzumi, Syekh Abu Muhammad Muhyidin, Syekh Abdul Aziz, Syekh Muhammad al-Huttaqi, Syekh Syamsuddin, Syekh Syarifuddin, Syekh Nurruddin, Syekh Waliuddin, Syekh Hisyamuddin, Syekh Yahya, Syekh Abu Bakar, Syekh Abdul Karim, Syekh Usman, Syekh Abdul Fatah, Syekh Murodi, Syekh Syamsuddin, Syekh Ahmad Khatib al-Makki, Syekh Ahmad Syuaib Jumali al-Banteni, Syekh Mochamamad Mochtar Abdul Mu’thi al-Jombangi[3]

Pada masa awal penyampaian ajaran-ajaran tarekat di tengah-tengah masyarakat, ternyata banyak mengalami hambatan-hambatan, sebab masyarakat belum pernah mendengar dan mengenal ajaran Tarekat Shiddiqiyyah sebelumnya. Tetapi, lambat laun penyampaian ajaran Tarekat Shiddiqiyyah mulai mendapatkan respon, walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Orang pertama yang berbai’at pada Tarekat Shiddiqiyyah adalah Slamet Makmun pada tahun 1960. Setelah itu diikuti dengan beberapa orang, begitulah seterusnya; sehingga tahun-tahun berikutnya pengikut Tarekat Shiddiqiyah kian bertambah banyak, hanya saja jumlahnya tidak dapat disebutkan secara pasti, sebab tidak diagendakan secara baik. Diperkirakan pengikut Tarekat Shiddiqiyah pada periode tahun 1960-1970an sudah mencapai ratusan. Pada periode ini guru-guru Tarekat Shiddiqiyah (khalifah) yang ada di Kecamatan Ploso sudah mencapai 5 orang, yaitu: Slamet Makmun, Sunyoto Hasan Ahmad, Syekhu Umar Ahmadi, Ahmad Syafi’i dan M. Alimun. Pada waktu diangkat menjadi khalifah usia mereka tergolong masih relatif muda untuk ukuran dunia tarekat, yakni berkisar 35 tahun-41 tahun.

Pada periode tahun 1970-1980an pengikut Tarekat Shiddiqiyah bertambah banyak, disinyalir sudah mencapai ribuan. Tetapi ibarat pohon, semakin tinggi semakin besar angin menerpanya. Pada periode ini Tarekat Shiddiqiyah mendapat rintangan yang cukup gencar dari kalangan umat Islam sendiri. Pada periode ini banyak tuduhan yang ditunjukkan pada Tarekat Shiddiqiyah, seperti Tarekat Shiddiqiyah tidak muktabarah/sah, Tarekat Shiddiqiyah ajaran klenik yang akan merusak syari’at Islam, dan lain sebagainya. Pada periode ini guru (khalifah) tarekat Shiddiqiyah bertambah lagi sebanyak 5 orang, yaitu: Muhammad . Munif, Ahmad Djazuli Charzin, Abdul Mu’thi, Ahmad Djunaedi, Lukman Faqih. Usia mereka pada saat diangkat menjadi khalifah berkisar antara 38-42 tahun. Pada periode ini ada seorang khalifah yang meninggal dunia yaitu Slamet Makmun, yang meninggal pada tahun 1977.

Pada periode tahun 1980-1991an pengikut tarekat Shiddiqiyah bertambah banyak lagi, hanya saja jumlahnya yang pasti tidak dapat diketahui. Pada tahun 1991 jumlah pengikut Tarekat Shiddiqiyah d ikecamatan Ploso saja diperkirakan sudah lebih dari 10.000 orang. Pada periode ini ada lagi murid yang diangkat menjadi khalifah, yaitu Tasrichol Adib Aziz yang waktu diangkat menjadi khalifah baru berumur 36 tahun.

Mengenai jumlah murid Tarekat Shiddiqiyyah saat ini diperkirakan 6.000.000 orang. Murid-murid ini tersebar di seluruh Indonesia terutama di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Pada saat ini jumlah guru 27 orang yaitu di kabupaten Jombang ada 13 orang, di kabupaten Nganjuk 2 orang, di Kabupaten Kediri 1 orang, di Kabupaten Malang 3 orang, di Kabupaten Gresik 1 orang, di Kabupaten Lamongan 1 orang, di Kabupaten Banyuwangi 1 orang, di Kodya Surabaya ada 1 orang, di Kabupaten Bojonegoro 1 orang, di kabupaten Jepara 2 orang dan di Palembang 1 orang.

Dalam rangka mempermudah penyebaran ajaran tarekat, Tarekat mendirikan yayasan yang bernama Yayasan Pendidikan Shiddiqiyah yang berpusat di Desa Losari Kecamatan Ploso, Jombang. Yayasan ini sudah mempunyai cabang-cabang yang berjumlah 10 cabang yang sudah diresmikan dan 32 cabang yang belum diresmikan. Cabang-cabang yang sudah di resmikan adalah cabang Nganjuk, Kediri, Bojonegoro, Malang, Purwodadi-Grobogan, Jepara, Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, dan Lamongan. Cabang-cabang yang belum diresmikan adalah cabang banyuwangi, Jember, Pasuruan, Lumajang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Ngawi, Magetan, Gresik, Tuban, Kudus, Demak, Semarang, Pemalang, Pekalongan, Salatiga, Solo, Yogyakarta, Kebimen, Purwokerto, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Tangerang, Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Sumatra selatan.[4]

Selain Yayasan Pendidikan Shiddiqiyyah (YPS), Tarekat Shiddiqiyyah juga banyak melahirkan banyak organisasi-organisasi lainnya, antara lain: Orgasisasi Shiddiqiyyah (ORSHID), Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah (OPSHID), Yayasan Sanusiyah, Jam’iyyah Kautsaran Putri Fatimah Binti Maimun Hajarullah. Dzilalul Mustad’afin.

C. Dasar Legitimasi Politik Tarekat Shiddiqiyyah

Sebagaimana tarekat lainnya yang mempunyai prasyarat tertentu bagi seseorang yang ingin bergabung di dalamnya, Tarekat Shiddiqiyyah juga menyaratkan beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh murid yang terdiri dari delapan kesanggupan, yaitu: Pertama, sanggup bakti kepada Allah Ta’ala. Kedua, sanggup bakti kepada Rasulullah. Ketiga, sanggup bakti kepada orangtua (Ibu Bapak); Keempat, sanggup bakti kepada sesama manusia. Kelima, sanggup bakti kepada negara Republik Indonesia; Keenam, sanggup cinta kepada tanah air Indonesia; Ketujuh, sanggup mengamalkan Tarekat Shiddiqiyyah; Kedelapan, sangup meghargai waktu. [5]

Kedelapan kesanggupan tersebut harus betul-betul dinyatakan oleh setiap murid. Menurut salah seorang Khalifah Tarekat Shiddiqiyyah, Muhammad Munif, suatu waktu ada seseorang yang mau menjadi anggota tarekat Shiddiqiyyah, tetapi ia merasa keberatan dengan kesanggupan kelima dan keenam, yakni kesanggupan berbakti kepada negara Republik Indonesia dan sanggup cinta kepada tanah air Indonesia. Akhirnya, ia tidak diterima selama belum mau menyatakan kesanggupan kepada kedua kesanggupan tersebut.[6]

Kesanggupan kelima dan keenam, sebenarnya merupakan dasar yang kuat bagi Tarekat Shiddiqiyyah untuk ikut langsung dalam persoalan politik terutama yang berkaitan dengan membela negara Indonesia. Kedua kesanggupan tersebut diartikan sebagai berikut:

Kesanggupan bakti kepada negara Republik Indonesia (Khusus warga negara RI). Pada tanggal 18 Agustus 1945 berdirilah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tujuan: Pertama, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Kedua, untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Ketiga, untuk memajukan kesejahteraan umum. Keempat, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kelima, untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan: Kemerdekaan, Perdamaian abadi dan Keadilan sosial.

Bagaimanakah jadinya kalau kita tidak memiliki negara pastilah tak ada yang melindungi bangsa, tak ada yang melindungi tanah air, tak ada yang memajukan kesejahteraan umum, tak ada yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak mungkin dapat ikut menertibkan dunia. Karena itu, wajib bakti kepada Negara Republik Indonesia dengan cara melaksanakan apa-apa yang telah ditentukan oleh negara.

Selain itu, bakti kepada negara juga harus dipahami sebagai rasa syukur atas terbentuknya negara dengan tujuannya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: "wasykurullah baldatun thoyyibatun warobbun ghofuur" (QS.As Saba’:15) (Hendaklah kamu beryukur kepada Nya (Allah), Negara baik dan Allah Dazt yang Maha Pengampun). Jadi, syukur kepada Allah Ta’ala yang dihubungkan dengan negara adalah syukur sebagai warga negara setelah syukur sebagai manusia.

Sedangkan cinta tanah air indonesia. (Khusus warga negara RI) juga dipahami bahwa Tanah Air adalah tempat yang menerima kedatangan kita. Selain itu, diri kita tersusun dari unsur Tanah dan Air. Jadi, tanahnya kita tempati dan air-nya kita minum, udara-nya kita hirup, hasil buah-buahannya kita makan. Karena itu, Kita haruslah cinta kepada Tanah Air.

Cinta tanah air pada dasarnya bukan hanya kewajiban dari negara, tetapi Islam pun juga menyatakan bahwa Cinta Kepada Tanah Air adalah sebagian daripada iman. Iman adalah pokok pangkal Agama. Rusululloh SAW bersabda: "hubbul wathon minal iman " (Cinta Tanah Air itu bagian dari Iman).[7]

Realisasi dari cinta tanah air yaitu dengan ikut membangun negara dengan sebaik-baiknya. Pembangunan tersebut, tentulah untuk kebaikan bersama. Jika negara mengalami berbagai tantangan, maka sebagai warga negara harus ikut membelanya.

B. Ijtihad Politik Tarekat Shiddiqiyyah

1. Saluran Suara Pada Partai Politik

Dalam dunia tarekat, pemimpin, mursyid, mempunyai posisi yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. Segala keputusan mursyid harus diterima sebagai sesuatu yang sakral, karena ada kepercayaan bahwa mursyid selalu mendapatkan bimbingan dari Allah. Bahkan, dalam dontrin tarekat murid ketika berhadapan dengan guru harus bagaikan mayyit yang berada di tangan orang yang memandikan. Artinya ia harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh mursyid baik dalam persoalan agama, termasuk juga persoalan politik.

Kepemimpinan kharismatik mursyid dihargai lebih tinggi daripada pemimpin lokal, elit tradisional, atau pemimpin formal lainnya. Karenanya, segala petunjuk dan perintah mursyid mutlak harus diikuti. Bahkan ada keyakinan bagi murid bahwa setiap perintah mursyid pastilah mengandung hikmah yang mursyid sendiri yang lebih tahu.

Mengingat peran mursyid yang begitu besar terhadap muridnya, maka sangat wajar bila pemerintah atau organisasi peserta pemilu berlomba-lomba mengambil hati mursyid supaya mendukung kebijakan atau partainya. Sebab, bila mendapatkan dukungan dari mursyid, partai tersebut akan mengantongi suara yang banyak dari murid-murid tarekat tersebut.

Dalam pandangan Tarekat Shiddiqiyyah Golkar dianggap sebagai partai yang dapat membawa negara ini menjadi aman tentram dan sangat akomodatif terhadap umat Islam, sehingga tidak ada halangan untuk menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Karena itu, tarekat Shiddiqiyyah selama pemerintahan Orde Baru menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai berlambang pohon beringin yang pada waktu itu menjadi partai moyoritas tunggal.

Afiliasi ke partai yang menjadi penguasa Orde Baru tersebut, bukan berarti mengharapkan imbalan seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya sebut saja misalanya Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Rejoso Jombang. Afisiliasi TQN ke Golkar dengan alasan yang sangat politis, yaitu bahwa Rejosa sebagai pesantren yang besar yang menjadi kantong-kantong NU belum pernah diberi kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi, baik dalam struktur keorganisasian NU, atau dalam posisi di pemerintahan melalui NU. Buktinya yang menduduki jabatan Rais Am adalah KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, KH. Wahab Hasbullah dari Tambak Beras dan KH. Bisri Syamsuri dari Denanyar. Sedangkan yang di birokrasi, khususnya kementrian agama, adalah KH. Abdul Wahid Hasyim dari Tebuireng dan KH. Wahib Wahab dari Tambak Beras. Sementara Rejoso tidak pernah diberi kesempatan untuk ikut melahirkan tokoh dalam bidang politik maupun pemerintahan yang mampu mencapai kedudukan tertinggi.[8]

Berbeda dengan TQN, Tarekat Shiddiqiyyah tidak pernah mendapatkan apa-apa, baik bantuan yang bersifat material yakni bangunan fisik, atau dalam bentuk lainnya. Dukungan tersebut hanya semata-mata sebagai bentuk pengejawantahan dari bakti kepada negara dan kepada tanah air Indonesia. Apalagi Golkar juga tidak pernah mempermasalahkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menurut tarekat Shiddiqiyyah harus dipertahankan dan tidak boleh ditambah dengan apapun. Terutama berkaitan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan pasal 29 ayat 1: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang maha Esa.”

Dengan berbagai kecocokan tersebut, wajar kalau Tarekat Shiddiqiyyah menyalurkan suaranya pada Golkar. Bahkan Mursyid tarekat ini memberikan instruksi khusus kepada seluruh muridnya untuk mencoblos Golkar di manapun saja berada. Karena itu sangat wajar jika dalam pemilu pada masa Orde baru Golkar selalu mengantongi suara yang signifikan di Jombang dan dapat mengalahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mulanya selalu mendapat suara banyak di Jombang. Ini misalnya dapat dilihat dari hasil pemilu tahun 1977 dan 1982 yang PPP mendapatkan suara 40%, tetapi dalam pemilu tahun 1987 hanya memperoleh 25%.[9]

Sekali lagi, partisipasi politik tersebut janganlah dipahami karena selalu mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan Golkar sebagai motornya. Sebab dalam persoalan pembangunan sarana dan prasarana di lingkungan Tarekat Shiddiqiyyah semuanya murni dari swadaya Shiddiqiyyah dari infak dan sedekah anggota. Sebaliknya, tarekat Shiddiqiyyahlah yang banyak membangun sarana dan prasarana umum dari kantong Tarekat Shiddiqiyyah, seperti pembangunan jalan, gapura dan saluran air.

2. Pancasila sebagai Kalimatun Sawa’

Menurut Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi apabila sila tersebut ditambah lagi dengan tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Maka akan terjadi diskriminasi terhadap agama-agama lainnya. Padahal dasar negara dan undang-undang itu untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai keragaman agama, sehingga kalau hanya Islam yang disebut dianggap sangat tidak adil. Bahkan untuk memperkuat ini, Kyai Mursyid tarekat Shiddiqiyyah ini mengemukakan hadits nabi Saw: “Ya’ti zamanun la yabqa minal islam illa ismuhu” (Besok akan datang suatu masa, tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali yang tinggal hanya nemanya saja). Jadi, jika kata Islam masuk dalam undang-undang tetapi masyarakatnya banyak yang berbuat bertentangan dengan Islam, berarti Islam hanya tinggal nama saja sebagaimana hadis tersebut.[10]

Lebih dalam lagi, Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi menguraikan bahwa apabila tujuh kata tersebut ditambahkan, maka seakan-akan negara yang mewajibkan terhadap pelaksanaan syari’at Islam, bukan Allah Swt. Jadi kalau shalat seakan-akan bukan karena Allah, tetapi karena kewajiban negara, maka lafad niatnya: “Ushalli fardha al-dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilan al-qiblati ada’an li Republik Indonesia.” Begitu juga kewajiban-kewajiban lainnya seperti zakat, puasa dan haji. Jika itu yang terjadi, maka jelas-jelas terjadi syirik yang luar biasa.

Bahkan ketika merenungi kesempurnaan sila pertama dan pasal 29 ayat 1 tersebut, Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi menangis sebagai rasa syukur betapa hebatnya para pendahulu yang telah merumuskan sila dan pasal tersebut dengan singkat dan padat, sehingga selain dapat diterima oleh semua agama juga dapat menghindarkan umat islam dari syirik.[11]

D. Perubahan Arah Kebijakan Politik

Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Baru ke Ordo Reformasi juga telah mengakibatkan perubahan ijtihad politik Tarekat Shiddiqiyyah. Masa Reformasi ditandai dengan munculnya banyak partai yang menjadi peserta pemilu. Partai-partai tersebut di samping sebagai partai yang nasionalis juga partai yang agamis, baik dari kalangan agama Islam maupun agama-agama lain.

Partai-partai tersebut muncul, karena adanya perubahan undang-undang tentang pemilihan umum yang membolehkan kepada siapa saja untuk mendirikan partai asal memenuhi ketentuan-ketantuan yang berlaku. Berdirinya partai-partai tersebut mengindikasikan ketidakpuasan pada tiga partai yang sudah ada pada Orde Baru. Apalagi ketiga partai tersebut dikatakan telah banyak melakukan dosa politik dalam menopang Orde Baru selama 32 tahun telah menghancurkan republik ini dengan berbagai tindak korupsi, kolusi dan nepotisme.

Golkar merupakan partai yang banyak mendapatkan protes, sebab ia merupakan partai pendukung pemerintah dan merupakan mayoritas tunggal dalam setiap pemilu. Golkar mempunyai dosa besar dalam menghancurkan republik ini. Karena itu, banyak muncul tuntutan untuk pembubaran partai berlambang pohon beringin ini. Tetapi Golkar dengan segala kepiawaiannya muncul dengan suasana baru dan paradigma baru. Sehingga berbagai macam tuntutan pembubaran dapat dilewati dengan tenang dan tetap menjadi peserta pemilu bahkan untuk pemilu 2004 mendatang. Namun demikian, Mursyid tarekat Shiddiqiyyah mencabut dukungannya pada Golkar, sebab Golkar dianggap tidak lagi mampu untuk memerintah negeri ini.

Selain itu, Mursyid Shiddiqiyyah melihat bahwa partai yang begitu banyak sudah pasti tidak akan ada lagi mayoritas tunggal. Semua partai muncul dengan visi dan misinya sendiri-sendiri dengan mengusung berbagai kepentingan kelompok mereka sendiri. Kepentingan-kepentingan tersebut boleh jadi bertentangan dengan kepentingan-kepentingan Tarekat Shiddiqiyyah yang mengutamakan dakwah Islam.

Memang, seiring dengan reformasi kebebasan untuk menyalurkan aspirasi selalu dikumandangkan, sehingga diharapkan rakyat betul-betul menyalurkan aspirasinya sendiri sesuai dengan keinginannya sendiri, tanpa diperintah oleh siapapun.

Kebebasan seperti itu bukan berarti membatasi wewenang mursyid untuk mengarahkan murid-muridnya kepada satu partai politik tertentu. Sebab sebagaimana disebutkan sebelumnya, ketaatan murid kepada mursyid adalah ketaatan total dalam bidang apapun tidak terkecuali bidang politik. Hanya saja karena tidak ada lagi partai yang dianggap perlu didukung, maka mursyid Tarekat Shiddiqiyyah tidak memberikan instruksi secara khusus kepada muridnya. Dengankata lain, mursyid membebaskan murid-muridnya untuk menyalurkan suaranya kepada partai mana saja yang sesuai dengan pilihannya.

Tarekat Shiddiqiyyah sangat berbeda dengan tarekat atau organisasi lain yang selalu mengharapkan sesuatu dari afiliasinya terhadap partai tertentu. Tarekat ini semata-mata hanya untuk menjalankan bakti kepada Negara RI dan bakti cinta pada tanah air. Dalam persoalan pembangunan sarana dan prasarana umum, bukannya pemerintah yang membantu Tarekat Shiddiqiyyah, sebaliknya Tarekat Shiddiqiyyahlah yang banyak membantu kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan, termasuk pembangunan jalan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Dengan kemandirin tersebut, maka wajarlah kalau berbagai tawaran yang diajukan oleh orang-orang yang mencalonkan diri untuk pemilu 2004 semuanya ditolak. Para calon presiden tersebut mengharapkan dukungan mursyid Tarekat Shiddiqiyyah dengan seluruh anggotanya akan memuluskan mereka menjadi partai pemenang pemilu, yang selanjutnya akan memuluskan pula dirinya utnuk menjadi presiden.

Mereka-mereka yang datang ke kediaman Mursyid tarekat Shiddiqiyyah tidak ada yang ditemui. Sebab bila ada yang ditemui, dikhawatirkan akan terjadi persepsi yang berbeda di kalangan pengikut Shiddiqiyyah. Padahal Mursyid Shiddiqiyyah sekarang ini benar-benar membebaskan murid-muridnya untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Lebih dari itu, walaupun ada anggota Tarekat Shiddiqiyyah yang ingin menjadi anggota legislatif dan meminta dukungan warga Tarekat Shiddiqiyyah, mursyid tetap menyatakan bahwa warga Tarekat Shiddiqiyyah Shiddiqiyyah bebas memilih partai apapun sesuai dengan keinginannya masing-masing, dan jangan sekali-kali mengatasnamakan Tarekat Shiddiqiyyah.[12]

Selain itu, kepedulian Tarekat Shiddiqiyyah terhadap fenomina politik di tanah air adalah ditandai dengan adanya acara doa bersama untuk kelancaran sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2002. Kekhawatiran Tarekat Shiddiqiyyah adalah pada terjadinya amandemen UUD 1945 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pada dasarnya, Tarekat Shiddiqiyyah setuju-setuju saja dengan berbagai keputusan MPR selama tidak menyangkut amandemen pasal di atas, tetapi apabila pasal di atas yang diubah misalnya dengan penambahan 7 kata yang ada dalam Piagam Jakarta, tarekat Shiddiqiyyah tidak akan tinggal diam, tetapi akan menyuarakan suaranya. Dalam pandangan Mursyid tarekat Shiddiqiyyah pasal 29 ayat 1 tersebut sudah dianggap rumusan final yang dapat diterima oleh semua agama dan golongan. Karena itu, rumusan pasal tersebut harus dipertahankan untuk menghindari terjadinya disintegrasi bangsa dan tragedi yang berkepanjangan.

E. Penutup

Ijtihad politik Tarekat Shiddiqiyyah di atas, menjadi ilustrasi unik. Sufi termasuk di dalamnya tarekat yang selama ini dipandang sebagai kelompok paling asketis, pada kenyataannya memiliki keterlibatan relatif besar dalam percaturan politik. Dalam kacamata prinsip-aksi, ini adalah bentuk ambivalensi. Tapi, dalam sudut pandang yang berbeda ini adalah bentuk pembumian sufi; sufi yang tidak hidup asing di menara gading atau gua-gua sunyi; sufi yang tidak kaku dengan ajaran formal tarekatnya. Tapi, sufi yang juga terimbas oleh transformasi sosial-politik lokal maupun global.

Partisipasi politik Tarekat Shiddiqiyyah sebagai sebuah hasil ijtidah politik yang dimotori oleh Mursyid mendapatkan dasar yang kuat dalam butir-butir delapan kesanggupan yang menjadi dasar ajaran Tarekat Shiddiqiyyah yang meliputi:: Pertama, sanggup bakti kepada Allah Ta’ala. Kedua, sanggup bakti kepada Rasulullah. Ketiga, sanggup bakti kepada orangtua (Ibu Bapak); Keempat, sanggup bakti kepada sesama manusia. Kelima, sanggup bakti kepada negara Republik Indonesia; Keenam, sanggup cinta kepada tanah air Indonesia; Ketujuh, sanggup mengamalkan Tarekat Shiddiqiyyah; Kedelapan, sangup meghargai waktu. Kesanggupan kelima dan keenam tersebut dijabarkan sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah yang sah dan menyalurkan aspirasi politik sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Tarekat Shiddiqiyyah mempunyai partisipasi politik aktif dalam percaturan politik di Indonesia. Partisipasi tersebut bukanlah dengan menjadi anggota DPR atau MPR atau dengan mendirikan partai, tetapi semata-mata pada keikutsertaannya dalam pemilu dan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Pada masa Orde Baru Tarekat Shiddiqiyyah melalui ijtihad Mursyidnya menyalurkan aspirasi politiknya ke Golongan Karya (Golkar) yang waktu itu menjadi partai penguasa negeri ini. Penyaluran aspirasi pada Golkar tersebut, semata-mata karena adanya kecocokan terhadap kebijakan-kebijakan Golkar yang dianggap tidak bertentangan dengan tujuan tarekat Shiddiqiyyah.

Pada masa Reformasi, Tarekat Shiddiqiyyah tidak lagi memberikan dukungannya kepada Golkar, tetapi memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai dengan keinginannya sendiri. Sebab secara institusi tidak ada lagi kebijakan untuk mendukung partai tertentu, sebab sudah tidak ada lagi partai mayoritas dan semuanya tidak ada yang mampu menjadi penguasa penuh negeri ini.

Daftar Bacaan

Depag RI, Tarekat Shiddiqiyyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Laporan Penelitian Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, Semarang: 1992)

Hilmy Mukhtar, Dinamika NU: Suatu Studi tentang Elite Kekuatan Politik Islam di Jombang Jawa Timur (Yogyakarta; Tesisi UGM, 1989), h. 156.

J. Spencer Triminfharm, Mazhhab Sufi (Bandung: Pustaka, 1999).

John L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), jil.5.

Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Menyingkap Kegelapan Hati (Losari Jombang, 2002), h. 41.

Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Penjelasan Ringkas Mengenai Delapan Kesanggupan (Losari Jombang, 1983).

Majalah al-Kautsar Dzilalul Mustad’afun, Vol. 10, 2004.

Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat (Yogyakarta: Galang Press, 2001).

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 81.

Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten (Jakarta: Pustaka Jaya).

Syahrul A’dam, Mursyid dan Politk: Studi Partisipasi Tarekat Shiddiqiyyah di Ploso Jombang (Jakarta: Penelitian Individual Fak Syariu’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004).

YPS, Data-data Thariqoh Shddiqiyyah (Ploso, YPS, 1989).



[1]Untuk keterangan lebih lengkap baca Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten (Jakarta: Pustaka Jaya).

[2] Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi dilahirkan di desa yang sama Losari Ploso Jombang pada tanggal 28 Agustus 1928 dari pasangan suami isteri H. Abdul Mu’thi bin Kyai Ahmad Syuhada berasal dari Demak dan Ibu Nasichah binti Kyai Abdul Karim dari Pati. Beliau adalah anak yang ke 12 dari 17 bersaudara. Dilihat dari silsilah nasab, beliau memang keturunan dari kyai, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, tidak heran beliau sejak kecil telah mendapatkan bimbingan pendidikan ilmu-ilmu agama dalam lingkungan keluarganya. Meskipun demikian secara formal beliau juga mengenyam pendidikan di Madrasah Islamiyah Ngelo (sekarang Rejoagung) Kecamatan Ploso. Selanjutnya, beliau belajar di Pesantren Rejoso, Peterongan, dan sebelum akhirnya pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang. Sepeninggal ayahnya H. Abdul Mu’thi Kyai Much. Muchtar mulai belajar ilmu Tasawuf pada Kyai Muntoha, Kedung Macan, Sambong, Jombang. Kyai Muntoha tercatat sebagai guru Tarekat Ahmadiyyah

[3]Data-data Thariqoh Shddiqiyyah (Ploso, YPS, 1989).

[4]Lihat Depag RI, Tarekat Shiddiqiyyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Laporan Penelitian Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, Semarang: 1992), h. 18.

[5]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Penjelasan Ringkas Mengenai Delapan Kesanggupan (Losari Jombang, 1983).

[6]Hasil wawancara dengan Bapak Munif, Khalifah Tarekat Shidddiqiyyah, Agustus 2003.

[7]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Penjelasan Ringkas Mengenai Delapan Kesanggupan (Losari Jombang, 1983).

[8]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 81.

[9]Hilmy Mukhtar, Dinamika NU: Suatu Studi tentang Elite Kekuatan Politik Islam di Jombang Jawa Timur (Yogyakarta; Tesisi UGM, 1989), h. 156.

[10]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Menyingkap Kegelapan Hati (Losari Jombang, 2002), h. 41.

[11]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Menyingkap Kegelapan Hati, h. 41.

[12]Lihat Majalah al-Kautsar Dzilalul Mustad’afun, Vol. 10, 2004, h. 4.

7 komentar:

Syahrul Adam mengatakan...

Artikel ini hanya sekedar tulisan dalam mengamati tarekat dalam kancah perpolitikan di tanah air

kang.ramdan mengatakan...

mas Syahrul,
mau koreksi tentang tanggal lahir Kyai Muhammad Muchtar Mu'thi, bukan tanggal 28 Agustus 1928, tetapi tanggal 14 Oktober 1928 ato 28 RabiulAwwal 1347 H.
keterangan ini ada di buku Biografi beliau, keluaran tahun 2007.

terima kasih,
wassalam
Ramdan
Semarang.

Anonim mengatakan...

Ada tertulis bahwa Kyai Muchammad Muchtar Mu'thi sebelum menjadi Mursyid menjadi salah satu Juru Kampanye Partai Golkar....
Sepengetahuan saya belio tidak pernah menjadi Juru kampanye, kalau menganjurkan kepada muridnya memilih golkar ya. Malahan yang benar adalah Sebelum menjdi Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah belio adalah salah satu juru kampanye Partai Masyumi tahun 1955~60an s

aaerick mengatakan...

"hubbul wathon minal iman " (Cinta Tanah Air itu bagian dari Iman)...saya pasti pegang teguh...Semoga RI menjadi negara yang penuh BarokahNya...amin.

Anonim mengatakan...

Tulisanmu apik ngno
nulis lagi yo

Anonim mengatakan...

Wah, pak Syahrul memang pakarnya. Selamat deh, atas promosi doktornya, Selasa, 22 Januari 2008.

Anonim mengatakan...

ternyata orang2 bawean hebat2 dong, bapak langsung kumuat aja di media bawean dong
http://pulau-bawean.blogspot.com/