Senin, 01 September 2008

MENAPAK JALAN SUFI (Bagian Kedua)

D. Pokok-pokok Jalan Sufi al-Sinkili dalam Umdat al-Muhtajin

Untuk dapat mengurai pokok-pokok bimbingan menempuh jalam sufi al-Sinkili dalam Umdat al-Muhtajin, penulis menguraikannya sebagai berikut:

Kewajiban mengenal Allah dan Rasul Allah Saw

Sebagaimana diketahui, kalimah syahadatainasyhadu an lâ ilâha illâ Allâh wa asyhadu anna Muhammadan Rasûl Allah—adalah bagian dari rukun Islam. Syahadatain itulah yang membedakan antara muslim dengan kafir. Seseorang yang telah mengikrarkan syahadatain dianggap sebagai orang muslim, sebaliknya orang yang mengingkari pengikraran syahadatain disebut kafir. Karenanya, syahadah mempunyai nilai penting dalam keberagamaan seseorang.

Abd al-Râuf al-Sinkîlî menyatakan bahwa setiap mukallaf wajib untuk mengikrarkan syahadatain sebagai pengakuan akan keesaan Allah dan kesahan risalah-Nya yang dibawah oleh Muhammad Saw. Syahadatain tersebut mengandung implikasi pada pengenalan sifat-sifat Allah dan rasul, yang berupa sifat wajib, mustahil dan jaiz.

Al-Sinkîlî sebagaimana pengikut Asy’ari lainnya menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat wajib yang berjumlah 20 yaitu: wujûd (ada), qidam (dahulu), baqâ’ (kekal), mukhâlafat li al-hawâdits (berbeda dengan makhluk), qiyâmuhu binafsih (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa), qudrah (kuasa), irâdah (berkehendak), ilmu (mengetahui) hayat (hidup), sama’ (mendengar), basar (melihar), kalâm (berkata), qâdiran (yang berkuasa), mûridan (yang berkehendak), ‘âliman (yang mengetahui), hayyan (yang hidup), sâmian (yang mendengar), basîran (yang melihat), mutakalliman (yang berbicara) (al-Sinkili, t.th: 3).

Keduapuluh sifat wajib tersebut, menurut al-Sinkîlî, dapat dikelompokkkan menjadi empat bagian yaitu: (1) nafsiyyah yang terdiri dari sifat wujûd (ada) (2) salbiyyah yang terdiri dari sifat qidam (dahulu), baqâ’ (kekal), mukhâlafat li al-hawâdits (berbeda dengan makhluk), qiyâmuhu binafsih (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa), (3) ma’ani yang terdiri dari qudrah (kuasa), irâdah (berkehendak), ilmu (mengetahui) hayat (hidup), sama’ (mendengar), basar (melihar), kalâm (berkata), dan (4) ma’nawiyah yang terdiri dari qâdiran (yang berkuasa), mûridan (yang berkehendak), ‘âliman (yang mengetahui), hayyan (yang hidup), sâmian (yang mendengar), basîran (yang melihat), mutakalliman (yang berbicara) (al-Sinkili, t.th: 3).

Selain sifat wajib tersebut, Allah juga mempunyai sifat mustahil, yakni kebalikan dari sifat wajib yang juga berjumlah dua puluh. Sedangkan sifat jaiz bagi Allah hanya satu yaitu berbuat atau tidak berbuat-Nya Allah Ta’ala terhadap sesuatu.

Sebagai pengakuan pada rasul, maka juga harus mengetahui sifat-sifat wajib, mustahil maupun jaiz bagi rasul. Sifat wajib bagi rasul ada empat yaitu: siddiq (benar), amânah (terpercaya), tabligh (menyampaikan perintah), fatânah (cerdas). Sedangkan sifat mustahilnya juga ada empat yaitu: kidzib (dusta), khiyânah (berkhianat), kitman (menyembunyikan perintah), dan balâdah (tolol). Sifat jaiz bagi rasul adalah sifat-sifat kemanusiaan (al-Sinkili, t.th: 3-4).

Ketika membahas kalimah tauhid, la ilaha illah Allah, al-Sinkîlî menyebutkan nama-nama kalimah tauhid di antaranya kalimah ikhlash, kalimah taqwa, kalimah thayyibah, kalimah urwah al-wutsqa dan kalimah tsaman al-jannah. Hal tersebut dapat dipahami dari hadis rasul yang berbunyi: “Sungguh kamu sekalian akan masuk surga kecuali orang yang enggan dan yang lari seperti larinya unta dari tuannya. (sahabat) bertanya, siapa orang yang itu ya rasul Allah?, Rasul menjawab: “Orang yang tidak menyebut lâ ilâha illâ Allâh, maka perbanyaklah menyebut lâ ilâha illâ Allâh sebelum dihalangi antara kamu dan antaranya. Sebab kalimat tersebut adalah kalimat tauhid, kalimat ikhlash, kalimat taqwa, kalimat thayyibah, da’wh al-haq, urwah al-wutsqa dan tsaman al-jannah.” (al-Sinkili, t.th: 7).

Untuk menunjukkan berbagai macam keutamaan menyebut kalimat tauhid, al-Sinkîlî banyak mengutip hadis-hadis Nabi Saw antara lain:” Siapa yang mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh dengan ikhlas akan masuk surga.” “Siapa yang mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh dengan ikhlas dan melanjutkannya dengan pen-ta’zhiman, maka Allah akan mengampuni beribu-ribu dosa besarnya, dikatakan pula apabila tidak mempunyai dosa-dosa besar, maka akan diampuni baginya dosa kedua orang tuanya, dosa keluarganya dan dosa tetangganya.”

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abi Dzar RA “saya berkata: “Ya Rasul Allah wasiatkankanlah (sesuatu) kepadaku, saya wasistkan kepadamu dengan taqwa kepada Allah, apabila engkau berbuat jelek, maka ikutkanlah dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya, Ya Rasul Allah, apakah (mengucap) lâ ilâha illâ Allâh termasuk kebaikan juga, Rasul menjawab: “ya, dari paling utamanya kebaikan”. “Paling utamanya dzikir adalah lâ ilâha illâ Allâh dan paling utamanya do’a adalah al-hamdu li Allah.” “Do’a yang paling utama pada hari arafah dan paling utamanya sesuatu yang saya dan para nabi nabi sebelumku ucapkan adalah lâ ilâha illâ Allâh wahdahu la syarika lahu.” (al-Sinkili, t.th: 8).

Dzikir dan Tata Caranya

Secara bahasa dzikir diartikan dengan ingat. Istilah dzikr Allah dalam Islam secara umum diartikan dengan mengingat dan menyebut asma Allah baik dengan baik dengan lisan maupun dengan hati. Dzikir Allah adalah menjauhkan manusia dari lupa kepada-Nya.

Al-Sinkîlî menyatakan bahwa dzikr Allah adakalanya berbentuk dzikr hasanat dan ada juga dzikr darajat. Bedanya, dzikir hasanat tidak membutuhkan tata cara tertentu, sedangkan dzikir derajat membutuhkan tata cara tertentu. Dzikir yang kedua inilah yang banyak dibahas oleh al-Sinkîlî (al-Sinkili, t.th: 9).

Dengan mengutip pendapat para ulama terdahulu, al-Sinkîlî menyatakan adab-adab dzikir yaitu: Pertama, bertaubah dari segala macam maksiat, kedua mandi atau berwudhu, ketiga memakai pakaian yang baik yakni pakaian yang halal dan harum, keempat memilih tempat yang kelam, kelima, memberi wangi-wangian di tempat dzikir, keenam, duduk bersila, ketujuh meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha, kedelapan, memejamkan kedua mata, Kesembilan, membayangkan wajah syekhnya, kesepuluh, minta tolong syekhnya dengan hatinya sampai memperoleh pertolongan atau berkah, kesebelas, mengi’tikadkan bahwa minta tolong syekhnya serasa minta tolong kepada Nabi Muhammad SAW, kedua belas diam sampai menghasilkan shidq, ketiga belas ikhlas yakni memaksudkan apa yang dilakukannya hanya untuk Allah, keempat belas, menyebut lâ ilâha illâ Allâh dengan ta’dzim dan keras dengan menaikkan kepalanya ketika menyebut lâ ilâha dan menundukkan ke hatinya ketika menyebut illâ Allâh, kelima belas, menghadirkan makna lâ ilâha illâ Allâh dalam hatinya. Dalam menghadirkan makna ini ada tiga macam makna utama yaitu, la ma’buda ahadun illâ Allâh (tidak ada yang disembah oleh sesorang seseorang kecuali Allah), la matluba illâ Allâh (tidak ada yang dicari selain Allah) dan la maujûda illâ Allâh (tidak ada yang maujud dkecuali Allah). Makna yang pertama diperuntukkan bagi mubtadi’ (sufi pemula), makna kedua untuk mutawassith (orang yang tahap pertengahan), dan makna ketiga untuk muntahi (orang yang tertinggi); Keenam belas, menafikan segala sesuatu dari hatinya selain Allah, ketujuh belas, diam dengan tetap menghadirkan Allah dalam hatinya (al-Sinkili, t.th: 10-11).

Bila dilihat dari sisi caranya, dzikir dibagi menjadi dua macam, pertama dzikr jahr (keras) dan kedua dzikr sirr (pelan). Mengenai dzikr jahr, al-Sinkîlî juga mengikuti keterangan imam Syafi’i, imam Ahmad bin Hanbal dan imam Malik, terutama yang dimuat dalam kitab ittijah al-munîb al-awwah bi fadl al-jahr bi dzikr Allah. Di antara dalil yang digunakan untuk menunjukkan keutamaan dzikr jahr daripada dzikr sirr antara lain: “Apabila kalian telah melaksanakan salat, maka berzikirlah kalian kepada Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.” Selain itu, al-Sinkîlî juga mengutip perkataan ibn Abbas yang berbunyi:” Berzikirlah kalian kepada Allah, sehingga orang lain mengatakan engkau gila.” Namun demikian, jahr yang dimaksud bukan jahr yang tidak punya aturan, tetapi harus sesuai dengan dituasi dan kondisi (muqtadla al-hal).

Dzikir yang dimaksud adalah dzikr nafy itsbat (lâ ilâha illâ Allâh). Dalam mengucap zikir ini, orang yang berzikir haruslah duduk bersila dengan meletakkan kedua telapak tangan dengan jari-jari terbuka di tas kedua paha. Selanjutnya mengangkat kepada ke arah kelingking tangan kiri dengan menyebut lâ ilâha, lalu memalingkan kepala ke arah bahu kanan disertai dengan mengucap lafaz illâ Allâh.

Dengan melakukan dzikir tersebut, maka seseorang (murid) akan merasakan bahwa dirinya dan alam ini adalah fana’ disertai dengan adanya keyakinan bahwa hanya Allah lah yang baqa’ serta timbul kesadaran segala sesuatu akan kembali kepada-Nya, bahkan juga pada keyakinan bahwa tiada lah sesuatu yang wujud melainkan Allah SWT. Inilah, menurut al-Sinkîlî, yang menjadi tujuan orang-orang yang menapaki jalan Allah.

Selain dzikr jahr juga dan dzikr qalbi, tetapi menurut al-Sinkîlî , yang demikian itu butuh pada petunjuk guru. Juga dzikr ibrah yang dilakukan dengan memejamkan kedua mata sambil sesekali membuka mata dan melihat sesuatu serta dengan men-tasawwur-kan ism dzat. Apabila dzikir-dzikir tersebut dilakukan selama empat puluh (40) hari, niscaya akan nyata baginya wujud yang muthlak baik pada dzahir maupun batinnya. Mengenai cara men-tasawwur-kan ism dzat yaitu men-tasawwur-kan lafadz jalalah dalam hati sanu barinya. Kemudian semua itu harus disertai dengan petunjuk guru, sebab bila tidak maka syaitan yang akan menjadi gurunya (al-Sinkili, t.th: 16).

Sedangkan yang dimaksud dengan dzikir sirr yaitu dengan al-takhallush min al-ghaflah wa al-nisyan bi dawami wa hudluri al-qalbi ma’a al-haqq yakni menyepikan diri dari lupa dengan senantiasa menghadirkan hati beserta Haqq SWT.

Talqin dan Bai’ah

Dalam dunia tarekat, seseorang yang ingin menjadi murid harus melalui prosesi pengucapan bai’ah dan talqin. Pembai’atan adalah prosesi perjanjian antara murid terhadap mursyid. Seorang murid menyeragkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Selanjutnya mursyid menerimanya dengan mengajarkan zikir (talqin al-dzikr) kepada sang murid.

Al-Sinkîlî menyatakan ada dua macam bai’ah, yaitu bai’ah fardiyyah (pembaiatan individual) dan bai’ah jam’iyyah (kolektif). Kedua pembaitan tersebut sama-sama mempunyai landasan dalam hadis Nabi saw. Pembai’atan individual didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib yang berbunyi: “Ali berkata: Ya Rasulullah, tunjukkanlah cara terdekat untuk mencapai Allah, paling mudahbagi hamba-Nya dan paling baik menurut-Nya. Nabi menjawab, “Engkau harus berzikir secara terus menerus di tempat sunyi. “Bagaimana caranya ya Rasulullah”, tanya Ali. Nabi menjawab, “Pejamkan kedua matamu dan dengarkan (kata-kata) dariku tiga kali dan tirukanlah ucapanku tiga kali dan saya akan mendengarkar ucapanmu. Lalu Nabi mengucaapkan lâ ilâha illâ Allâh sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras, sedangkan Ali mendengarkan. Kemudian, Ali mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh tiga kali dalam keadaan mata terpejam dan dengan suara yang keras juga, sedang Nabi mendengarkannya (al-Sinkili, t.th: 37).

Sedangkan pembaitan secara kolektif didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Syaddad ibn Uwais yangberbunyi: “Syaddad berkata: “Kami bersama Nabi Saw. Nabi berkata, “Adakah di antara kalian orang asing (ahli kitab)?, kami menjawab, tidak ada ya Rasul,”. Kemudian Rasul memerintahkan kami untuk memejamkan mata dan berkata, “Angkatlah kedua tangan kalian dan ucapkanlah lâ ilâha illâ Allâh, kemudian, kami mengangkat tangan sesaat. Rasul berkata, “Segala puji bagi Allah, ya Allah sesungguhnya engkau telah membaiat saya dengan kalimah ini dan memerintahkanku dengan kalimah ini masuk surga, sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji. Rasul melanjutkan ucapannya, ‘Bukankah telah saya kabarkan bahwa Allah sungguh telah mengampuni kalian.” (al-Sinkili, t.th: 37).

Sebelum prosesi talqin, calon murid harus mengambil (ijazah) dzikir yang selama tiga malam harus tidur dalam keadaan suci yakni dengan cara mengambil wudhu dan melakukan sembahyang enam rakaat. Dua rakaat pertama dihadiahkan pahalanya kepada Nabi SAW dengan meminta pertolongan supaya tercapai hajatnya. Pada rakaat pertama shalat tersebut setelah membaca surat al-fatihah disuruh membaca surat al-qadr (inna anzalnahu fi lailat al-qadr) sebanyak enam kali dan pada rakaat kedua sebanyak dua kali. Dua raat berikutnya dihadiahkan pahalanya kepada semua nabi dan rasul, para keluarganya, sahabat-sahabatnya serta semua orang yangmengikuti mereka disertai dengan minta tolong tercapainya keinginannya itu. Pada rakaat pertama shalat tersebut setelah membaca al-fatihah disuruh membaca surat al-Kafirun (qul yâ ayyuha al-kâfirûn) sebanyak lima kali, sedangkan pada rakaat keduasebanyak tiga kali. Sedangkan dua rakaat terakhir pahalanya dihadiahkan kepada guru dan kepada semua gurunya guru serta, para keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kepada semua orang yang mengikutinya. Pada rakaat pertama shalat tersebut setelah membaca al-fatihah disuruh membaca surat al-Ikhlash (qul huwa Allâhu ahad) sebanyak empat kali, sedangkan pada rakaat kedua sebanyak dua kali (al-Sinkili, t.th: 39).

Kemudian, dilanjutkan dengan meminta pertolongan kepada mereka dan kepada Allah supaya dapat berhasil apa yang dimintanya. Setelah itu diperintahkan untuk membaca shalawat sebanyak sepuluh kali serta dengan membaca pada akhir yang sepuluh itu kalimat, “wa ala jami’i al-anbiya wa al-mursalîn wa ali kullin wa sahbihim wa ‘ammti al-mu’mininn ‘adada khalqi Allah bi dawâmi Allah. Setelah itu, duduk bersilah dan membaca “jaza Allah ‘anna sayyidana Muhammadan salla Allah ‘alaihi wa sallam ma huwa ahluh”.

Setelah itu, untuk kesempurnaan baiatnya, murid disuruh untuk memeringkan tidurnya pada sisi sebelah kanan dengan senantiasa menghadirkan Nabi SAW dengan seolah-oleh melihat beliau sambil terus berdzikir sebanyak-banyaknya. Adapun dzikir yang dimaksud adalah “Allahumma yâ Rabbi Muhammadin salli ‘ala Muhammadin wa ali Muhammadin wa ajzi Muhammadan ‘anni mâ huwa ahluh” sebanyak seribu kali, dan lâ ilâha illâ Allâh juga seribu kali. Kemudian membaca shalawat seratus kali yang berbilang dan diikuti dengan shalawat yang tidak berbilang sebanyak-banyaknya sampai ia tertidur begitu juga siang harinya. Setelah itu, murid menceritakan semua mimpi yang terjadi dalam tidurnya kepada sang guru.

Adapun cara baiat adalah pertama seorang murid harus menjulurkan tangannya dan meletakkannya di bawah tangan gurunya, tetapi jika murid perempuan maka harus ada sesuatu yang mengantarai, baik berupa kain atau air dalam bejana, kemudian guru membaca ayat 10 surat al-Fath/48, “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Setelah guru selesai membaca ayat tersebut, lalu murid diperintahkan untuk membaca: “Saya rela Allah menjadi Tuhaku, dan Islam menjadi agamaku, Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi, al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan pada kedua tangan syekh sebagai syekh, pendidik dan dalil serta dengan orang-orang fakir yang menjadi pengikut sebagai teman bagiku dengan segala yang ada pada mereka, ketaatan mempersatukan kami dan kemaksiatan memisahkan kami.”

Ikrar tersebut dibaca sebanyak tiga kali. Lalu kemudian guru dan murid membaca istigfarsebanyak tiga kali, lalu membaca tiga kali dengan maksud mengajarkan dzikir tersebut pada murid dengan baiah, lalu murid mengatatakan lailaha illa Allah seperti yangtelah diucapkan gurunya, kemudian guru membaca do’a: Ya, Allah, Ambil dan terima darinya serta bukakanlah padanya pintu setiap kebaikan sebaimana telah Engkau bukakan kepada nabi-nab-Mu dan hamba-hamba-Mu yang saleh.”

Setelah itu guru juga memberikan wirid-wirid yang sesuai dengan murid itu, paling tidak dzikir lâ ilâha illâ Allâh, lalu shalat subuh seribu kali, shalat isya seribu kali, sembahyang tahajjud seribu kali, amalan-amalan tersebut harus dimulai dan diakhiri dengan shalawat sebanyak sepuluh kali, tetapi jika murid tersebut merasa sukar maka jumlah yang seribu itu dapat diganti dengan seratus kali saja.

Perlu diketahui bahwa yang berhak untuk mentalqinkan dan membai’ah adalah syekh yang sudah memperoleh ijazah dan mempunyai dzauq (perasa). Dalam hal ini al-Sinkîlî mengumpamakan seorang syekh tak ubahnya seorang thabib, untuk dapat mengobati seorang thabib harus mempunyai banyak ilmu tentang keadaan serta tentang rempah-rempah yang tidak hanya dari berita-berita sepintas, sebab dia akan mengobati orang yang sakit, apalagi seorang syekh yang akan memanusiakan manusia, sudah pasti harus mempunyai dzauq yang baik.

Amalan-Amalan dalam Menempuh Jalan Sufi

Menjadi penempuh jalan Allah (sâlik) identik dengan banyak melakukan berbagai macam amalan-amalan yang dianggap senantiasa dapat mendekatkan diri pada Allah. Karena itu, al-Sinkîlî menunjukkan berbagai macam amalan-amalan sunnah yang harus ditempuh dan dikerjakan oleh salik. Dengan mengutip ungkapan yang dimuat dalam kitab Kalimah al-Wushtha, al-Sinkîlî mengatakan bahwa orang yang mengamalkan wirid-wirid mempunyai pahala yang amat besar, termasuk dari mengamalkan wirid adalah orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang lain. Besarnya pahala itu didasarkan pada hadits Nabi Saw: “Orang yang mengajarkan kebaikan akan minta ampun baginya segala sesuatu sampai ikan dalam laut sekalipun.” (al-Sinkili, t.th: 42).

Jadi hadis tersebut menyatakan menyiratkan bahwa orang yang mengajarkan kebajikan termasuk di dalamnya orang yang mengajarkan wirid. Orang yang mengajarkan itu juga ternasuk yang meminta ampun, begitu juga orang yang ingkar termasuk juga di dalamnya, sebab termasuk juga dalam segala sesuatu.

Dalam menguraikan amalan-amalan ini, al-Sinkîlî pertama-tama menguraikan tentang wirid yang harus dibaca sehabis sembahyang lima waktu. Amalan-amalan seperti itu yang sering dikerjakan kebanyakan orang yang ada di Madinah kala itu. Sebagaimana juga Syekh Burhan al-Din Mula Ibrahim Kurani (w. 1101 H/1690 M) melakukan wirid berikut: membaca istighfar sebanyak 3 kali; membaca Allahumma anta al-salâm dan seterusnya; membaca al-Fatihah; membaca wa ilâhukum ilahun wahid dilajutkan dengan ayat kursi; membaca Subahana Allah 33 kali, membaca al-hamduli Allah 33 kali, membaca Allah akbar 33 kali, membaca lâ ilâha illâ Allâh wahdahu la syarika lah…, membaca shalawat, membaca lâ ilâha illâ Allâh Allah 10 kali, dan terakhir membaca do’a (al-Sinkili, t.th: 45-46).

Tetapi kalau sesudah sembahyang subuh dilanjutkan dengan berbagai macam wirid lainnya hingga terbit mata hari dan diakhiri dengan shalat 2 rakaat. Demikian ini didasarkan pada hadis Nabi Saw: “Siapa yang shalat subuh dengan berjamaah kemudian duduk dengan dzikir pada Allah hingga terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, maka baginya pahala seperi pahala haji dan umrah dengan sempurna dengan sempurna dengan sempurna.

Setelah shalat dua rakaat, apa orang tersebut mempunyai hajat yang belum kesampaian hendaklah berdoa dengan menyebutkan hajatnya, kemudian dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau berdzikir melaksanakan shalat tasbih. Ketika si salik berada pada seperempat hari dianjurkan untuk melaksanakan shalat dhuha paling sedikir 2 rakaat; pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca surat al-Sayms dan pada rakaat kedua membaca surat al-Dhuha. Setelah setelai shalat dilanjutkan dengan istigfar dan membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW, kemudian dilanjutkan degan membaca tasbih, tahmid, takbir dan hawqala sebanyak 10 kali lalu berdoa (al-Sinkili, t.th: 48)

Menurut pendapat lain bahwa setelah sahalat subuh dianjurkan untuk membaca surat Yasin dan surat al-Tabarak, sedangkan setelah shalat maghrib membaca selain kedua surat itu juga ditambah dengan surat Hamim al-Sajdah dan surat al-Waqi’ah. Amalan-amalan tersebut mengambil cerita dari Jabir RA bahwasanya Rasulullah tidak pernah tidur sebelum membaca surat al-Sajdah dan surat al-Tabârak. Selain itu Nabi juga berkata:” Alif Lam Mim tanzilu datang pada hari kiamat dengan membentangkan dua sayap menaungi orang yang membacanya dan mengatakan padanya tiada jalan atasnya tiada jalan atasnya.”

Hadis Nabi juga mengatakan: “Artinya: Siapa saja yang membaca tabarak alladzi biyadihi al-mulk dan alif lam mim al-sajdah di antara maghrib dan isya’, maka seakan-akan ia shalat pada malam qadar.” (al-Sinkili, t.th: 49)

E. Penutup

Pokok-pokok bimbingan sufi al-Sinkili menjadi amat penting bagi orang-orang yang ingin menempuh jalan sufi. Bimbingan tersebut, mempunyai kaitan erat dengan para pengikut Tarekat Syattariyah yang diajarkan oleh al-Sinkili. Bimbingan jalan sufi al-Sinkili akhirnya dapat tersebar, melalui murid-muridnya, antara lain Burhân al-Dîn Ulakan (w. 1104H/1692 M) yang kemudian lebih dikenal dengan Tuan Ulakan. Ia belajar beberapa tahun kepada al-Sinkilî dan selanjutnya menjadi penyebar Islam di Sumatera. Ia mendirikan surau Syattâriyah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan sejenis ribat di Ulakan. Dalam waktu yang relatif singkat, surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minagkabau. Surau Ulakan menarik banyak murid dari dari seluruh Minangkabau, mereka mengambil keahlian dalam berbagai cabang disiplin Islam yang pada gilirannya mereka juga mendirikan surau-surau di tempat kelahiran mereka.

‘Abd al-Muhyi yang berasal dari Pamijahan Jawa Barat juga merupakan murid al-Sinkilî. Melalui muridnya yang satu ini, Tarekat Syattâriyah menjadi tersebar di Jawa Barat. Tidak ada sumber yang menyebutkan tahun kelahiran ‘Abd al-Muhyi, tetapi para pemerhati dan peneliti sepakat menyatakan bahwa ia belajar kepada al-Sinkilî di Aceh sebelum menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dia juga diriwayatkan mengadakan perjalanan ke Bagdad untuk mengunjungi pusara Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jaylânî, pendiri tarekat Qadiriyah. Setelah kembali dari tanah suci, ia menetap di Pamijahan, Jawa Barat. Di tempat ini ia memainkan peranan penting dalam mengubah kepercayaan masyarakat setempat dari animisme menjadi Islam, selain aktif juga menyebarkan Tarekat Syathariyah.

Murid al-Sinkilî lainnya yang terkenal di Semenanjung Melayu adalah ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abd Allâh (w. 1149 H/1736 M) yang lebih dikenal dengan Tok Pulau Mas dari Trengganu. Dikatakan bahwa ‘Abd al-Mâlik belajar kepada al-Sinkili di Aceh sebelum ia melanjutkan pendidikannya ke Haramain.

Murid lainnya adalah Dawud al-Jawi al-Fanshuri ibn Islmail ibn Agha Musthafa ibn Agha ‘Ali al-Rumi. Ia diperkirakan berasal dari keturunan Turki dengan ibu dari Melayu. Diperkirakan ayahnya merupakan salah seorang serdadu bayaran Turki yang datang ke Aceh untuk membantu Kesultanan Aceh dalam melawan Portugis. Dawud al-Jawi disinyalir sebagai khalifah utama al-Sinkilî dan mendirikan sebuah Dayah, lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh bersama al-Sinkili.

Melalui murid-muridnya inilah, tersebarlah ajaran dan pemikiran al-Sinkilî ke berbagai pelosok Nusantara, terutama tarekat Syathariyah. Menurut Hawash Abdullah, tarekat ini tidak mungkin akan hilang, sebab tarekat itu merupakan ajaran yang benar, walaupun banyak orang yang menganggap bahwa tarekat ini adalah bid’ah.

Referensi:

‘Abd al-Râuf al-Sinkîlî, Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn, Perpustakaan Nasional Jakarta, ML, 103 B, fol. 112.

A. Hasymi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana” dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun (Medan: Waspada, 1980).

Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 (Sebuah Essei untuk 70 Tahun Prof. Dr. Harun Nasution)” dalam Aqib Suminto (ed.) Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1989).

----------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Jakarta, 1996).

----------, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Rosdakarya, 1999).

Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara (Surabaya: Al-Ikhlas).

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996).

----------, Kitab Kuning (Bandung: Mizan, 1996).

Oman Fathurrahman, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandang: Mizan, 1999)

Peunoh Daly, “Naskah Mir’atut Thullab Karya Abdurrauf Singkel, dalam Agama, Budaya dan Masyarakat (Jakarta: Balitbang Depag RI, 1980).

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997).

Minggu, 13 Januari 2008

MENAPAK JALAN SUFI (Bagian Pertama)

A. Pendahuluan

Berdasarkan Katalog Manuskrip Nusantara, ternyata terdapat banyak naskah yang merupakan karya para penulis Islam Nusantara di masa lampau. Sayangnya, karya-karya tersebut sampai saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang sepantasnya. Padahal, karya-karya tersebut dapat dijadikan landasan untuk memotret secara jelas pemikiran keislaman yang berkembang di Indonesia, terutama pada masa-masa awal pertumbuhannya. Juga untuk menepis anggapan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang telah berada dalam posisi lemah, sehingga tidak mampu lagi menghasilkan karya-karya, kecuali mengikuti pemikiran yang telah baku dari Timur Tengah sebagai tempat lahirnya Islam.

Di antara karya-karya tersebut, sebut saja misalnya yang ditulis para intelektual Aceh abad 16 dan 17 seperti Hamzah Fanshuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili. Yang disebut terakhir, Abd al-Rauf al-Sinkili (selanjutnya disebut al-Sinkili) adalah seorang intelektual sejati yang produktif dalam menghasilkan karya-karya berbobot. Sepanjang karirnya di Aceh, yaitu sejak 1661 hingga 1690-an, ia –yang selama karirnya banyak mendapat perlindungan dan dukungan dari para Sultanah-- telah menuliskan puluhan karyanya, yang berkaitan dengan seluruh bidang kajian Islam, seperti fiqh, tafsir, hadis, kalam, dan tasawuf. Karya-karya tersebut, ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan ada pula yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, karya-karyanya tersebut lebih banyak ditulis dalam bahasa Arab, sebab ia menyadari bahwa bahasa Melayunya tidak sebagus bahasa Arabnya, karena ia tinggal cukup lama di Arab. Pendapat Azyumardi Azra tersebut, nampaknya kurang tepat, sebab menurut penelusuran Oman Fathurrahman, ternyata karya-karya al-Sinkili lebih banyak yang ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi menggunakan huruf Arab atau yang lebih dikenal dengan Arab Jawi atau Arab Melayu.

Pemikiran al-Sinkili, terutama dalam bidang tasawuf, menjadi menarik untuk diangkat sebab; pertama, al-Sinkili hidup dalam suasana iklim pemikiran tasawuf yang habis berseteru, terutama antara pengikut Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani yang dikenal dengan tasawuf wujudiyah dengan pengikut Nur al-Din al-Raniri yang lebih mengedepankan syari’ah. Perseteruan tersebut, bahkan, telah menyebabkan tragedi besar terjadi di Aceh, yakni berupa pembakaran karya-karya serta pembuhuhan terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani oleh al-Raniri dan pengikutnya; kedua, al-Sinkili lama tinggal di Arab dan bersentuhan dengan perkembangan intelektual Islam secara luas, apakah perseteruan antara tasawuf dan tarekat dalam dunia Islam, terutama di Haramain, banyak memberikan pengalaman padanya dalam menyelesaikan konflik di Aceh; ketiga, seperti kebanyakan murid-murid Nusantara lainya yang belajar di Arab, umumnya mereka banyak mencari jubah (khirqah) tarekat dari berbagai tarekat yag berkembang di sana waktu itu, tetapi al-Sinkili nampaknya cenderung untuk mengembangkan salah satu tarekat saja yaitu Syatariyah. Padahal tarekat ini, menurut beberapa penelitian, lebih kental dengan nuansa wujudiyah.

Kepiawaian al-Sinkilî dalam bidang tasawuf, misalnya ditulis dalam karyanya Daqaiq al-Huruf. Karyanya ini bahkan disinyalir mendapat pengakuan langsung dari Annimarie Schimmel sebagai karya yang sangat autentik dan cukup berillian. Krya-karya lainnya seperti Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Quayasy, Bayan Tajalli, Umdat al-Ansab, Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin dan masih banyak yang lainnnya.

Kajian penelitian ini lebih difokuskan pada pemikiran al-Sinkilî yang terdapat dalam kitab ‘Umdat al-Muhtajîn ilâ Suluk Maslak al-Mufradîn. Kitab ini banyak memuat bimbingan al-Sinkilî untuk menjadi sufi.

B. ‘Abd al-Râuf al-Sinkîlî: Riwayat Hidup dan Karyanya

Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Râuf ibn ‘Ali al- Jâwî al-Fansûrî al-Sinkilî (Selanjutnya di sebut al-Sinkili). Dari namanya tampak bahwa ia adalah orang Melayu yang berasal dari daerah Fansur, Sinkil di wilayah pantai Barat Laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, karena data-data tersebut tidak didapatkan dalam berbagai karyanya sendiri maupun karya murid-muridnya; namun demikian bukan berarti tidak ada tahun yang ditunjuk untuk memperkirakan kelahirannya. Azyumardi Azra (1994: 189) dengan mengutip hasil kalkulasi Rinkes dari tahun kembalinya al-Sinkili dari Timur Tengah, memperkirakan tahun 1024 H/1615 M sebagai tahun kelahirannya. Perkiraan ini yang akhirnya banyak dipegangi oleh para ahli tentang al-Sinkilî.

Menurut Hasjmi, nenek moyang al-Sinkilî berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad 13. Untuk selanjutnya mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantai Barat Pulau Sumatra. Sedangkan ayahnya menurut Hasjmi adalah kakak dari Hamzah Fansûrî, seorang tokoh tasawuf Aceh yang menyebarkan ajaran wujudiyah, namun, pendapat Hasjmi tersebut, diragukan oleh Azyumardi Azra sebab tidak ada sumber yang akurat yang mendukung pendapat tersebut. Menurut Azyumardi tidak menutup kemungkinan adanya hubungan famili antara keduanya mengingat dalam sebagian karya-karyanya sering dikatakan dengan yang berbangsa Hamzah Fansûrî (Oman Fathurrahman, 1999: 26).

Dugaan Azyumardi Azra tersebut, menurut Oman Fathurrahman (1999: 26), peneliti salah satu kitab al-Sinkîlî, Tanbîh al-Mâsyî, masih bisa dipertanyakan terutama jika dikaitkan dengan keterangan Voorhoeve yang menyatakan bahwa pernyataan “yang berbangsa Hamzah Fansûrî” atau yang dalam naskah-naskah Jawa ditulis sebagai “kang abangsa Syaikh Hamzah Fansûrî” di akhir nama al-Sinkilî itu tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya hubungan langsung antara al-Sinkilî dengan penyair mistik tersebut, baik hubungan guru-murid, apalagi hubungan keluarga. Hal tersebut lebih dimaksudkan untuk menunjuk pada tempat seluruh pantai Barat Sumatra, termasuk Sinkil dan Fansur, namun, karena pada tahap berikutnya ada seorang Sufi terkenal yang berasal dari Fansur, Hamzah Fansûrî, maka pernyataan “yang berbangsa Fansuri” akhirnya dikaitkan orang dengan “yang berbangsa Hamzah Fansûrî”.

Peunoh Daly dalam Azra (1994: 190) justru memberikan keterangan yang berbeda dengan ketarangan tersebut di atas, menurutnya ayah al-Sinkilî, Syekh Ali (Fansur) adalah orang Arab yang telah mempersunting seorang wanita Fansur yang bertempat tinggal di Sinkil yang menjadi tempat al-Sinkilî dilahirkan. Dengan demikian, berarti ayah al-Sinkilî bukan orang Melayu, tetapi orang pendatang yang berasal dari Arab. Sayangngnya, kisah lebih rinci mengnai ayah al-Sinkilî tidak didukung oleh data-data yang dapat dipercaya, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan yang dikaitkan dengan fakta-fakta lainnya.

Pendidikan awal al-Sinkilî dimulai dari lingkungan keluarganya, terutama dari ayahnya. Ayahnya dikenal sebagai orang alim yang mendirikan madrasah yang menjadi tempat belajar para murid di Kesultanan Aceh. Kemudian al-Sinkilî melanjutkan pendidikannya ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh untuk menimba ilmu dari para ulama yang ada di sana. Tentu saja ia tidak bertemu dengan ulama kenamaan Aceh, Hamzah Fansûrî, sebab dia telah lebih dahulu meninggal, sekitar tahun 1016 H/1607 M, namun ada kemungkinan bertemu dengan Sufi lainnya, Syams al-Din al-Sumatrani wafat tahun 1040 H/1630 M, sementara al-Sinkilî pasti berada dalam usia belasan tahun.

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, perlu diketahui bahwa waktu itu di Aceh telah terjadi pertikaian antara penganut doktrin wujudiyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansûrî suri dan Syams al-Dîin al-Sumatrani dengan al-Ranîrî dan para pengikutnya. Pastilah al-Sinkilî mengetahui persis konflik tersebut dan bagaimana penganiayaan yang dilakukan terhadap pengikut wujudiyah serta pembakaran buku-buku Hamzah Fansûrî. Latar belakang itu, boleh jadi mempunyai pengaruh besar dalam diri al-Sinkilî untuk mengambil jalan tengah yang moderat dalam mengajarkan tasawuf.

Selanjutnya al-Sinkilî mengembara ke tanah Arab untuk waktu 19 tahun. Ia mengelana ke berbagai tempat di Arab di antaranya Jeddah, Mekkah, Mokha, Bait al-Faqih dan lain-lainnya. Hampir pada semua tempat yang dihampiri ia belajar pada guru-guru terkenal yang akhirnya banyak mewarnai hidupnya.

Menurut Azra, paling tidak al-Sinkilî mencatat 19 orang guru sebagai tempat menimba ilmu keislaman dan 27 orang ulama yang mempunyai kontak pribadi dengannya. Guru-guru dan ulama-ulama tersebut di sepanjang rute perjalanan haji, berawal dari Dhuha, Yaman, Jeddah, Mekkah dan akhirnya Madinah. Hanya saja yang paling berpengaruh terhadap pemikirannya, terutama dalam bidang tasawuf adalah Ahmad Qusyasyî (w. 1071 H/1660 M) dan Ibrâhîm al-Kuranî (w. 1101 H/1690 M). Yang disebut pertama, Ahmad Qusyasyî adalah seorang ulama terkenal di Madinah. Darinya ia banyak belajar ilmu-ilmu batin dan ilmu-ilmu terkait lainnya sampai ia mendapatkan ijazah dan diangkat menjadi khalifah Tarekat Syattâriyah dan Qadiriyah. Setelah al-Qusyasyî meninggal, barulah ia belajar pada Ibrâhîm al-Kuranî, terutama tentang ilmu-ilmu keislaman selain tasawuf. Dengan kata lain, al-Qusyasyi adalah guru spiritual dan al-Kuranî adalah guru intelektual.

Menurut Azyumardi Azra (1994: 196) hubungan pribadi al-Sinkilî dengan al-Kuranî sangat dekat. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan al-Kurani untuk menulis Ithaf al-Dzâkî atas permintaan ashab al-Jawiyyin yang diduga kuat al-Sinkilî lah orangnya. Dugaan tersebut didasarkan pada ikatan intelektual dan pribadi mereka yang sangat erat. Ditambah lagi dengan kenyataan setelah al-Sinkilî kembali ke Aceh, ia juga masih meminta pendapat kepada al-Kuranî tentang cara-cara al-Raniri melakukan pembaharuan di Aceh.

Setelah kembali ke Indonesia, al-Sinkilî mengabdi di Kesultanan Aceh yang saat itu sedang diperintah oleh Sultanah Zakiyyat al-Dîn (1088-98 H/1678-88 M), bahkan Azra, walaupun tidak mempunyai data lengkap memperkirakan bahwa al-Sinkilî terlibat langsung dengan kejadian penerimaan delegasi dari Syarif Mekkah. Pada mulanya delegasi tersebut, sebenarnya dikirim Syarif untuk menemui Sultan Moghul, Aurangzeb, namun Aurangzeb di luar perkiraan menolok menerimanya tanpa alasan yang jelas. Akhirnya, delegasi putar haluan dan memindahkan tujuannya ke Aceh dengan membawa surat-surat dan hadiah untuk Sultanah. Sebaliknya, Sultanah dan rakyat Aceh juga memberikan banyak hadiah kepada Syarif yang antara lain berupa sebuah patung yang terbuat dari emas yang diambil dari sebuah peruntuhan istana dan masjid raya al-Rahman yang dilalap api pada masa Sultanah Naqiyyat al-Dîn.

Al-Sinkilî diperkirakan meninggal sekitar tahun 1105 H/1693 M dan dikuburkan dekat kuala atau mulut sungai Aceh. Atas penguburan di kuala itu, maka akhirnya ia dikenal sangat akrab dengan sebutan Syah Kuala. Pusara al-Sinkilî hingga saat ini menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh orang-orang Islam tidak hanya dari Aceh tetapi dari daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Banyak karangan-karangan yang dihubungkan dengan al-Sinkilî antara lain: Bidang fiqh: Mir’at al-Tullâb fi Taysîr al-Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (Cermin para Penuntut ilmu, untuk memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan, bahasa Melayu). Bayân al-Arkân (Penjelasan Rukun-rukun, Bahasa Melayu), Bidâyat al-Balîghah (Permulaan yang Sempurna, Bahasa Melayu), Majmû’ al-Masâ’il (Kumpulan Masalah, Bahasa Melayu), Fatîhah Syaikh ‘Abd al-Rauf (Metode Bacaan Fatihah Syaikh Abd al-Rauf, Bahasa Melayu), Tanbîh al-‘Amil fî Tahqîq al-Kalâm al-Nawâfil (Peringatan bagi Orang yang Mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat, Bahasa Melayu), Sebuah Uraian mengenai niat Sembahyang (Bahasa Melayu), Wasiyyah (tentang Wasiat-Wasiat Abd al-Rauf kepada Muridnya, Bahasa Melayu), Do’a yang Dianjurkan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf Kuala Aceh (Bahasa Melayu) dan, Sekaratul Maut (Tentang Hal-hal yang Dialami Manusia Menjelang Ajalnya, Bahasa Melayu) (Oman Fathurrahman, 1999: 29)

Bidang Tasawuf: Tanbîh al-Mâsyî al-Mansub ila Tarîq al-Qusyâsyî (Pedoman bagi orang yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi, Bahasa Melayu), ‘Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf, Bahasa Melayu), Sullâm al-Mustafidîn (Tanggapan Setiap orang yang Mencari Faidah, Bahasa Melayu), Piagam tentang Dzikir (Bahasa Melayu), Kifâyah al-Muhtajîn ila Masyârab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdat al-Wujûd (Bekal bagi Orangyang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdat al-Wujûd, Bahasa Melayu), Bayân Aqmad al-Masâ’il wa al-Sifat al-Wâjibah li Rabb al-Ard wa al-Samâwât (Penjelasan tentang Masalah-masalah Tersembunyi dan Sifat-sifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, Bahasa Melayu), Bayân Tajallî (Penjelasan Tajalli, Bahasa Melayu), Daqâ’iq al-Huruf (Kedalaman Makna Huruf, Bahasa Melayu), Risâlah Adab Murid akan Syaikh (Bahasa Arab dan Melayu), Munyah al-I’tiqâd (Cita-cita Keyakinan, Bahasa Melayu), Bayân al-Itlâq (Penjelasan Makna Istilah Itlâq, Bahasa Melayu), Risâlah A’yân al-Tsâbitah (Penjelasan tentang A’yan Tsabitah, Bahasa Melayu), Risalah Jalan Ma’rifatullah (Karangan tentang Jalan Menuju Makrifat Kepada Allah, Bahasa Melayu), Risâlah Mukhtasarah fi Bayân Syurut al-Syaikh wa al-Murîd (Karangan Ringkas tentang Syarat-syarat Guru dan Murid, Bahasa Melayu), Faidah yang tersebut di dalamnya Kaifiyah Mengucap Dzikir Lâ Ilâha illa Allâh (bahasa Melayu), Syair Ma’rifah (Bahasa Melayu), Otak Ilmu tasawuf (Bahasa Melayu), ‘Umdah al-Ansâb (Pohon Segala Nasab, Bahasa Melayu), Idah al-Bayân fi Tahqîq Masâ’il al-Adyân (Penjelasan dalam Menyatakan Masalah-masalah Agama, Bahasa Melayu), Ta’yid al-Bayan Hasyiyah Idah al-Bayân (Penegasan Penjelasan; Catatan atas Kitab Idah al-Bayan, Bahasa Melayu), Lubb al-Kasyf wa al-Bayân li Ma Yarahu al- Muhtadar bi al-‘Iyân (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang Dilihat Secara Terang-Terangan, Bahasa Arab dan Melayu. Risalah Simpan (Membahas Aspek-Aspek Sembahyang secara Mistis, Bahasa Melayu), dan Syattâriyyah (tentang Ajaran dan Tata Cara Dzikir Tarikat Syattariyah, Bahasa Melayu) (Oman Fathurrahman, 1999: 29)

Bidang Tafsir: Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawiy, yang merupakan Tafsir Pertama di dunia Islam dalam Bahasa Melayu, Bidang Hadis: Al-Arba’in Haditsan li al-Imam al-Nawawiyah (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, Bahasa Melayu), Al-Mawaidz al-Badî’ah (Petuah-petuah Berharga, Bahasa Melayu) (Azyumardi Azra, 1994: 205)

Al-Sinkilî adalah ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai Fiqh Mu’amalat. Melalui Mir’at al-Tullâb dia menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun Mir’at al-Tullâb tidak lagi digunakan di Nusantara dewasa ini, di masa lampau karya tersebut beredar luas. Hooker mengemukakan, Lumaran, kumpulan hukum Muslim yang digunakan kaum Muslim Maquidanao, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19, menjadikan Mir’at al-Tullâb sebagai salah satu acuan utamanya (Azyumardi Azra, 1994: 202).

Selain itu, al-Sinkilî juga mempunyai kontribusi yang luar biasa dalam bidang tafsir al-Qur’an. Dia adalah alim pertama di bagian dunia Islam ini yang bersedia memikul tugas besar mempersiapkan tafsir lengkap al-Qur’an dalam Bahasa Melayu. Telaah baru-baru ini menemukan bahwa sebelum dia, hanya ada sepenggal tafsir atas surah 18 (al-Kahf) yang diperkirakan ditulis pada masa Hamzah al-Fansurî atau Syams al-Dîn al-Samatranî, mengikuti tradisi tafsir al-Khâzin. Meski al-Sinkili tidak memberikan angka tahun penyelesaian karya tafsirnya yang berjudul Tarjumun al-Mustafid, tidak ada keraguan bahwa dia menulisnya semasa karirnya yang panjang di Aceh.

C. Sekilas tentang Kitab ‘Umadat al-Muhtajîn

‘Umdat al-Muhtajîn ilâ Suluk Maslak al-Mufradîn merupakan salah satu dari karya-karya al-Râuf al-Sinkîlî yang ditulis dalam bahasa Jawa (baca: Melayu) supaya dapat memudahkan para pembaca dalam memahami kitab tersebut. Kitab ini ditulis untuk menjadi pedoman bagi orang-orang ingin yang menempuh menuju Allah Swt.

Tidak ditemui keterangan yang jelas mengenai kapan kitab ini ditulis, diperkirakan kitab ini ditulis oleh al-Sinkîlî ketika berada di Aceh setelah pulang belajar di Haramain, Makkah dan Madinah. Sebab pada akhir kitab tersebut al-Sinkîlî menyebut guru-gurunya, tarekat yang didalami, dan juga murid-muridnya. Hal ini tentulah dilakukan setelah ia merampungkan pembelajarannya dan setelah ada orang-orang yang menimba ilmu darinya.

Dalam penelusuran penulis, ada enam naskah ‘Umdat al-Muhtajîn yang disimpan di Perpustakaan Nasional. Keenam naskah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1) ML 103, ukuran kertas 22x16 cm yang terdiri dari 88 halaman dengan kondisi masih baik dan bisa dibaca, 2) ML 107 B, ukuran kertas 20x15 cm dengan kondisi masih cukup jelas dan baik, 3) ML 301, ukuran kertas 20x16 cm, sebagian besar sudah lapuk, 4) ML 302, ukruan kertas 22x15 cm yang terdiri dari 158 halaman sebagian besar sudah lapuk, 5) ML 375 B, ukuran kertas 22x16 cm, sebagian besar telah lapuk, dan, 6) ML 814, ukuran kertas 331/2x21 cm yang terdiri dari 80 hakaman sebagian besar telah lapuk. Dalam kajian ini penulis memilih naskah ML 103, selain nskahnya lengkap, juga tulisannya cukup jelas untuk dibaca.

Al-Sinkîlî membagi kitab ini menjadi enam faidah atau pasal yang lazim digunakan penulis-penulis lain. Setelah muqaddimah al-Sinkîlî memulai faidah pertama tentang kewajiban mukallaf untuk mengetahui sifat waji, mustahil dan jaiz Allah, dan sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi rasul. Faidah kedua membahas tentang adab dan tata cara zikir. Faidah ketiga tentang hadis rasul yang berkaitan dengan keutamaan lâ ilâha illâ Allâh; Faidah keempat membahas tentang faidah zikir yang mendalam dengan lâ ilâha illâ Allâh; faidah kelima berisi penjaelasan tentang talqin guru pada murid dengan lâ ilâha illâ Allâh serta tata cara bai’ah dan talqin; Faidah keenam membahas salat-salat sunnah dan wirid yang harus ditekuni salik, dan faidah ketujuh membahas sifat-sifat pengikut tarekat dan penjelasan rasul tentang sifat-sifat mukmin. Sebelum khatimah, al-Sinkîlî membahas juga tentang guru-gurunya, tarekat yang telah ditekuninya, serta murid-murid yang telah belajar padanya (al-Sinkili, t.th). (berlanjut bagian kedua)


Kamis, 23 Agustus 2007

“IJTIHAD” POLITIK TAREKAT SHIDDIQIYYAH

ِA. Pendahuluan

Selama ini ada anggapan bahwa tasawuf, termasuk di dalamnya tarekat, adalah “biang kerok” kemunduran Islam. Anggapan ini, barangkali berawal dari adanya pemahaman yang keliru tentang tasawuf. Dalam pandangan ini, nampaknya tasawuf dianggap sebagai ajaran yang anti dunia dan hanya mementingkan pribadi untuk ber-asyik ma’syuk dengan Tuhan. Anggapan seperti ini diperkuat dengan ungkapan-ungkapan sufistik yang bila dibaca secara sepintas memang membenarkan anggapan tersebut, sebut saja ungkapan al-Ghazali yang manyatakan bahwa siapapun yang minum dari gelas kekuasaan, ia pasti terlempar dari keikhlasaan seorang hamba.. Al-Ghazali mengutip penegasan itu sebagai satu tangkai besar dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang `abid. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu aktivitas kalbu seoarang sufi.

Memang, secara historis, sufi abad Pertengahan mungkin tidak banyak memunculkan peran politik sufi itu. Tapi, pada abad-abad berikutnya, gerakan tarekat justru seringkali muncul sebagai gerakan politik, dengan kekuatan mobilitas massa, terutama pada akhir Abad 19 dan awal Abad 20, ketika umat Islam berada dalam cengkeraman imperialisme. Dale F. Eickelman dalam Muslims Politics bahkan melihat jaringan ordo sufi sebagai gerakan politik yang sangat penting pada masa-masa kolonialisme.

Tarekat-tarekat sufi yang yang aktif dalam gerakan-gerakan tersebut di antaranya, tarekat Qadiriyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Rifa’iyah dan tarekat Badawiyah. Gerakan para sufi tersebut banyak mempunyai jasa dalam perjuangan politik negara-negara Islam di Afrika Utara (yang waktu itu di bawah kolonialisme Eropa) dan Asia Tengah (yang berada di bawah cengkeraman kekuasan Tsar Rusia).

Dalam kasus Indonesia, gerakan tarekat ternyata juga banyak mempunyai peran dalam mengusir penjajahan, sebut saja misalnya pemberontakan di Banten,[1] pemberontakan di Lombok, dan lain sebagainya.

Tulisan ini secara lebih jelas akan mengulas tentang keputusan-keputusan politik yang dilakukan oleh Tarekat Shiddiqiyyah dalam kancah percaturan politik di Indonesia. Percaturan politik dimaksud tidak hanya pada persoalan-persoalan politik praktis belaka, seperti pemilihan umum, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang bersifat idiologis dalam hal ini membicarakan dasar negara.

B. Tarekat Shiddiqiyyah: Tinjauan Sepintas

Tarekat ini berkembang dari sebuah desa yang bernama Losari Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pengembangan Tarekat Shiddiqiyyah dilakukan oleh seorang Kyai bernama Muchammad Muchtar bin Haji Much. Mu’thi,[2] yang telah mendapat pelajaran dan berbaiat pada seorang guru tarekat yang bernama Syekh Syuaib Jamali Al Banteni.

Sebelum berganti nama dengan Tarekat Shiddiqiyyah, tarekat ini bernama Tarekat Khalwatiyyah, lalu menjadi Tarekat Shiddiqiyyah–Khalwatiyyah, dan akhirnya menjadi Tarekat Shiddiqiyyah. Perubahan nama tersebut dilakukan kyai Much. Muchtar Mu’thi karena semata-mata menjalankan perintah gurunya yang memintanya untuk mengganti tarekat yang diajarkannya dengan Tarekat Shiddiqiyyah. Adapun Mata rantai legitimasi Tarekat Shiddiqiyyah sebagai berikut: Rabbul Arbab swt, Sayyidina Jibril as, Sayyidila Muhammad Rasulullah saw, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Syekh Imam Zainal Abidin, Syekh Muhammad al-Bakir, Syekh Imam Ja’far Shodiq, Musa al-Kadhim, Syekh Abil Hasan Ali, Syekh Ma’ruf al-Karkhi (Yazid Busthami), Syekh Siri Suqthi, Syekh Junaidi al-Baghdadi, Syekh Abi bakar as-Sibli, Syekh Abdul wachid at-Tamimi, Syekh Faruq at-Tustusi, Syekh Abi Hasan Ali al-Asykari, Syekh Abi Sa’id Mahzumi, Syekh Abu Muhammad Muhyidin, Syekh Abdul Aziz, Syekh Muhammad al-Huttaqi, Syekh Syamsuddin, Syekh Syarifuddin, Syekh Nurruddin, Syekh Waliuddin, Syekh Hisyamuddin, Syekh Yahya, Syekh Abu Bakar, Syekh Abdul Karim, Syekh Usman, Syekh Abdul Fatah, Syekh Murodi, Syekh Syamsuddin, Syekh Ahmad Khatib al-Makki, Syekh Ahmad Syuaib Jumali al-Banteni, Syekh Mochamamad Mochtar Abdul Mu’thi al-Jombangi[3]

Pada masa awal penyampaian ajaran-ajaran tarekat di tengah-tengah masyarakat, ternyata banyak mengalami hambatan-hambatan, sebab masyarakat belum pernah mendengar dan mengenal ajaran Tarekat Shiddiqiyyah sebelumnya. Tetapi, lambat laun penyampaian ajaran Tarekat Shiddiqiyyah mulai mendapatkan respon, walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Orang pertama yang berbai’at pada Tarekat Shiddiqiyyah adalah Slamet Makmun pada tahun 1960. Setelah itu diikuti dengan beberapa orang, begitulah seterusnya; sehingga tahun-tahun berikutnya pengikut Tarekat Shiddiqiyah kian bertambah banyak, hanya saja jumlahnya tidak dapat disebutkan secara pasti, sebab tidak diagendakan secara baik. Diperkirakan pengikut Tarekat Shiddiqiyah pada periode tahun 1960-1970an sudah mencapai ratusan. Pada periode ini guru-guru Tarekat Shiddiqiyah (khalifah) yang ada di Kecamatan Ploso sudah mencapai 5 orang, yaitu: Slamet Makmun, Sunyoto Hasan Ahmad, Syekhu Umar Ahmadi, Ahmad Syafi’i dan M. Alimun. Pada waktu diangkat menjadi khalifah usia mereka tergolong masih relatif muda untuk ukuran dunia tarekat, yakni berkisar 35 tahun-41 tahun.

Pada periode tahun 1970-1980an pengikut Tarekat Shiddiqiyah bertambah banyak, disinyalir sudah mencapai ribuan. Tetapi ibarat pohon, semakin tinggi semakin besar angin menerpanya. Pada periode ini Tarekat Shiddiqiyah mendapat rintangan yang cukup gencar dari kalangan umat Islam sendiri. Pada periode ini banyak tuduhan yang ditunjukkan pada Tarekat Shiddiqiyah, seperti Tarekat Shiddiqiyah tidak muktabarah/sah, Tarekat Shiddiqiyah ajaran klenik yang akan merusak syari’at Islam, dan lain sebagainya. Pada periode ini guru (khalifah) tarekat Shiddiqiyah bertambah lagi sebanyak 5 orang, yaitu: Muhammad . Munif, Ahmad Djazuli Charzin, Abdul Mu’thi, Ahmad Djunaedi, Lukman Faqih. Usia mereka pada saat diangkat menjadi khalifah berkisar antara 38-42 tahun. Pada periode ini ada seorang khalifah yang meninggal dunia yaitu Slamet Makmun, yang meninggal pada tahun 1977.

Pada periode tahun 1980-1991an pengikut tarekat Shiddiqiyah bertambah banyak lagi, hanya saja jumlahnya yang pasti tidak dapat diketahui. Pada tahun 1991 jumlah pengikut Tarekat Shiddiqiyah d ikecamatan Ploso saja diperkirakan sudah lebih dari 10.000 orang. Pada periode ini ada lagi murid yang diangkat menjadi khalifah, yaitu Tasrichol Adib Aziz yang waktu diangkat menjadi khalifah baru berumur 36 tahun.

Mengenai jumlah murid Tarekat Shiddiqiyyah saat ini diperkirakan 6.000.000 orang. Murid-murid ini tersebar di seluruh Indonesia terutama di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Pada saat ini jumlah guru 27 orang yaitu di kabupaten Jombang ada 13 orang, di kabupaten Nganjuk 2 orang, di Kabupaten Kediri 1 orang, di Kabupaten Malang 3 orang, di Kabupaten Gresik 1 orang, di Kabupaten Lamongan 1 orang, di Kabupaten Banyuwangi 1 orang, di Kodya Surabaya ada 1 orang, di Kabupaten Bojonegoro 1 orang, di kabupaten Jepara 2 orang dan di Palembang 1 orang.

Dalam rangka mempermudah penyebaran ajaran tarekat, Tarekat mendirikan yayasan yang bernama Yayasan Pendidikan Shiddiqiyah yang berpusat di Desa Losari Kecamatan Ploso, Jombang. Yayasan ini sudah mempunyai cabang-cabang yang berjumlah 10 cabang yang sudah diresmikan dan 32 cabang yang belum diresmikan. Cabang-cabang yang sudah di resmikan adalah cabang Nganjuk, Kediri, Bojonegoro, Malang, Purwodadi-Grobogan, Jepara, Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, dan Lamongan. Cabang-cabang yang belum diresmikan adalah cabang banyuwangi, Jember, Pasuruan, Lumajang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Ngawi, Magetan, Gresik, Tuban, Kudus, Demak, Semarang, Pemalang, Pekalongan, Salatiga, Solo, Yogyakarta, Kebimen, Purwokerto, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Tangerang, Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Sumatra selatan.[4]

Selain Yayasan Pendidikan Shiddiqiyyah (YPS), Tarekat Shiddiqiyyah juga banyak melahirkan banyak organisasi-organisasi lainnya, antara lain: Orgasisasi Shiddiqiyyah (ORSHID), Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah (OPSHID), Yayasan Sanusiyah, Jam’iyyah Kautsaran Putri Fatimah Binti Maimun Hajarullah. Dzilalul Mustad’afin.

C. Dasar Legitimasi Politik Tarekat Shiddiqiyyah

Sebagaimana tarekat lainnya yang mempunyai prasyarat tertentu bagi seseorang yang ingin bergabung di dalamnya, Tarekat Shiddiqiyyah juga menyaratkan beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh murid yang terdiri dari delapan kesanggupan, yaitu: Pertama, sanggup bakti kepada Allah Ta’ala. Kedua, sanggup bakti kepada Rasulullah. Ketiga, sanggup bakti kepada orangtua (Ibu Bapak); Keempat, sanggup bakti kepada sesama manusia. Kelima, sanggup bakti kepada negara Republik Indonesia; Keenam, sanggup cinta kepada tanah air Indonesia; Ketujuh, sanggup mengamalkan Tarekat Shiddiqiyyah; Kedelapan, sangup meghargai waktu. [5]

Kedelapan kesanggupan tersebut harus betul-betul dinyatakan oleh setiap murid. Menurut salah seorang Khalifah Tarekat Shiddiqiyyah, Muhammad Munif, suatu waktu ada seseorang yang mau menjadi anggota tarekat Shiddiqiyyah, tetapi ia merasa keberatan dengan kesanggupan kelima dan keenam, yakni kesanggupan berbakti kepada negara Republik Indonesia dan sanggup cinta kepada tanah air Indonesia. Akhirnya, ia tidak diterima selama belum mau menyatakan kesanggupan kepada kedua kesanggupan tersebut.[6]

Kesanggupan kelima dan keenam, sebenarnya merupakan dasar yang kuat bagi Tarekat Shiddiqiyyah untuk ikut langsung dalam persoalan politik terutama yang berkaitan dengan membela negara Indonesia. Kedua kesanggupan tersebut diartikan sebagai berikut:

Kesanggupan bakti kepada negara Republik Indonesia (Khusus warga negara RI). Pada tanggal 18 Agustus 1945 berdirilah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tujuan: Pertama, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Kedua, untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Ketiga, untuk memajukan kesejahteraan umum. Keempat, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kelima, untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan: Kemerdekaan, Perdamaian abadi dan Keadilan sosial.

Bagaimanakah jadinya kalau kita tidak memiliki negara pastilah tak ada yang melindungi bangsa, tak ada yang melindungi tanah air, tak ada yang memajukan kesejahteraan umum, tak ada yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak mungkin dapat ikut menertibkan dunia. Karena itu, wajib bakti kepada Negara Republik Indonesia dengan cara melaksanakan apa-apa yang telah ditentukan oleh negara.

Selain itu, bakti kepada negara juga harus dipahami sebagai rasa syukur atas terbentuknya negara dengan tujuannya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: "wasykurullah baldatun thoyyibatun warobbun ghofuur" (QS.As Saba’:15) (Hendaklah kamu beryukur kepada Nya (Allah), Negara baik dan Allah Dazt yang Maha Pengampun). Jadi, syukur kepada Allah Ta’ala yang dihubungkan dengan negara adalah syukur sebagai warga negara setelah syukur sebagai manusia.

Sedangkan cinta tanah air indonesia. (Khusus warga negara RI) juga dipahami bahwa Tanah Air adalah tempat yang menerima kedatangan kita. Selain itu, diri kita tersusun dari unsur Tanah dan Air. Jadi, tanahnya kita tempati dan air-nya kita minum, udara-nya kita hirup, hasil buah-buahannya kita makan. Karena itu, Kita haruslah cinta kepada Tanah Air.

Cinta tanah air pada dasarnya bukan hanya kewajiban dari negara, tetapi Islam pun juga menyatakan bahwa Cinta Kepada Tanah Air adalah sebagian daripada iman. Iman adalah pokok pangkal Agama. Rusululloh SAW bersabda: "hubbul wathon minal iman " (Cinta Tanah Air itu bagian dari Iman).[7]

Realisasi dari cinta tanah air yaitu dengan ikut membangun negara dengan sebaik-baiknya. Pembangunan tersebut, tentulah untuk kebaikan bersama. Jika negara mengalami berbagai tantangan, maka sebagai warga negara harus ikut membelanya.

B. Ijtihad Politik Tarekat Shiddiqiyyah

1. Saluran Suara Pada Partai Politik

Dalam dunia tarekat, pemimpin, mursyid, mempunyai posisi yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. Segala keputusan mursyid harus diterima sebagai sesuatu yang sakral, karena ada kepercayaan bahwa mursyid selalu mendapatkan bimbingan dari Allah. Bahkan, dalam dontrin tarekat murid ketika berhadapan dengan guru harus bagaikan mayyit yang berada di tangan orang yang memandikan. Artinya ia harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh mursyid baik dalam persoalan agama, termasuk juga persoalan politik.

Kepemimpinan kharismatik mursyid dihargai lebih tinggi daripada pemimpin lokal, elit tradisional, atau pemimpin formal lainnya. Karenanya, segala petunjuk dan perintah mursyid mutlak harus diikuti. Bahkan ada keyakinan bagi murid bahwa setiap perintah mursyid pastilah mengandung hikmah yang mursyid sendiri yang lebih tahu.

Mengingat peran mursyid yang begitu besar terhadap muridnya, maka sangat wajar bila pemerintah atau organisasi peserta pemilu berlomba-lomba mengambil hati mursyid supaya mendukung kebijakan atau partainya. Sebab, bila mendapatkan dukungan dari mursyid, partai tersebut akan mengantongi suara yang banyak dari murid-murid tarekat tersebut.

Dalam pandangan Tarekat Shiddiqiyyah Golkar dianggap sebagai partai yang dapat membawa negara ini menjadi aman tentram dan sangat akomodatif terhadap umat Islam, sehingga tidak ada halangan untuk menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Karena itu, tarekat Shiddiqiyyah selama pemerintahan Orde Baru menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai berlambang pohon beringin yang pada waktu itu menjadi partai moyoritas tunggal.

Afiliasi ke partai yang menjadi penguasa Orde Baru tersebut, bukan berarti mengharapkan imbalan seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya sebut saja misalanya Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Rejoso Jombang. Afisiliasi TQN ke Golkar dengan alasan yang sangat politis, yaitu bahwa Rejosa sebagai pesantren yang besar yang menjadi kantong-kantong NU belum pernah diberi kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi, baik dalam struktur keorganisasian NU, atau dalam posisi di pemerintahan melalui NU. Buktinya yang menduduki jabatan Rais Am adalah KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, KH. Wahab Hasbullah dari Tambak Beras dan KH. Bisri Syamsuri dari Denanyar. Sedangkan yang di birokrasi, khususnya kementrian agama, adalah KH. Abdul Wahid Hasyim dari Tebuireng dan KH. Wahib Wahab dari Tambak Beras. Sementara Rejoso tidak pernah diberi kesempatan untuk ikut melahirkan tokoh dalam bidang politik maupun pemerintahan yang mampu mencapai kedudukan tertinggi.[8]

Berbeda dengan TQN, Tarekat Shiddiqiyyah tidak pernah mendapatkan apa-apa, baik bantuan yang bersifat material yakni bangunan fisik, atau dalam bentuk lainnya. Dukungan tersebut hanya semata-mata sebagai bentuk pengejawantahan dari bakti kepada negara dan kepada tanah air Indonesia. Apalagi Golkar juga tidak pernah mempermasalahkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menurut tarekat Shiddiqiyyah harus dipertahankan dan tidak boleh ditambah dengan apapun. Terutama berkaitan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan pasal 29 ayat 1: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang maha Esa.”

Dengan berbagai kecocokan tersebut, wajar kalau Tarekat Shiddiqiyyah menyalurkan suaranya pada Golkar. Bahkan Mursyid tarekat ini memberikan instruksi khusus kepada seluruh muridnya untuk mencoblos Golkar di manapun saja berada. Karena itu sangat wajar jika dalam pemilu pada masa Orde baru Golkar selalu mengantongi suara yang signifikan di Jombang dan dapat mengalahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mulanya selalu mendapat suara banyak di Jombang. Ini misalnya dapat dilihat dari hasil pemilu tahun 1977 dan 1982 yang PPP mendapatkan suara 40%, tetapi dalam pemilu tahun 1987 hanya memperoleh 25%.[9]

Sekali lagi, partisipasi politik tersebut janganlah dipahami karena selalu mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan Golkar sebagai motornya. Sebab dalam persoalan pembangunan sarana dan prasarana di lingkungan Tarekat Shiddiqiyyah semuanya murni dari swadaya Shiddiqiyyah dari infak dan sedekah anggota. Sebaliknya, tarekat Shiddiqiyyahlah yang banyak membangun sarana dan prasarana umum dari kantong Tarekat Shiddiqiyyah, seperti pembangunan jalan, gapura dan saluran air.

2. Pancasila sebagai Kalimatun Sawa’

Menurut Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi apabila sila tersebut ditambah lagi dengan tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Maka akan terjadi diskriminasi terhadap agama-agama lainnya. Padahal dasar negara dan undang-undang itu untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai keragaman agama, sehingga kalau hanya Islam yang disebut dianggap sangat tidak adil. Bahkan untuk memperkuat ini, Kyai Mursyid tarekat Shiddiqiyyah ini mengemukakan hadits nabi Saw: “Ya’ti zamanun la yabqa minal islam illa ismuhu” (Besok akan datang suatu masa, tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali yang tinggal hanya nemanya saja). Jadi, jika kata Islam masuk dalam undang-undang tetapi masyarakatnya banyak yang berbuat bertentangan dengan Islam, berarti Islam hanya tinggal nama saja sebagaimana hadis tersebut.[10]

Lebih dalam lagi, Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi menguraikan bahwa apabila tujuh kata tersebut ditambahkan, maka seakan-akan negara yang mewajibkan terhadap pelaksanaan syari’at Islam, bukan Allah Swt. Jadi kalau shalat seakan-akan bukan karena Allah, tetapi karena kewajiban negara, maka lafad niatnya: “Ushalli fardha al-dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilan al-qiblati ada’an li Republik Indonesia.” Begitu juga kewajiban-kewajiban lainnya seperti zakat, puasa dan haji. Jika itu yang terjadi, maka jelas-jelas terjadi syirik yang luar biasa.

Bahkan ketika merenungi kesempurnaan sila pertama dan pasal 29 ayat 1 tersebut, Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi menangis sebagai rasa syukur betapa hebatnya para pendahulu yang telah merumuskan sila dan pasal tersebut dengan singkat dan padat, sehingga selain dapat diterima oleh semua agama juga dapat menghindarkan umat islam dari syirik.[11]

D. Perubahan Arah Kebijakan Politik

Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Baru ke Ordo Reformasi juga telah mengakibatkan perubahan ijtihad politik Tarekat Shiddiqiyyah. Masa Reformasi ditandai dengan munculnya banyak partai yang menjadi peserta pemilu. Partai-partai tersebut di samping sebagai partai yang nasionalis juga partai yang agamis, baik dari kalangan agama Islam maupun agama-agama lain.

Partai-partai tersebut muncul, karena adanya perubahan undang-undang tentang pemilihan umum yang membolehkan kepada siapa saja untuk mendirikan partai asal memenuhi ketentuan-ketantuan yang berlaku. Berdirinya partai-partai tersebut mengindikasikan ketidakpuasan pada tiga partai yang sudah ada pada Orde Baru. Apalagi ketiga partai tersebut dikatakan telah banyak melakukan dosa politik dalam menopang Orde Baru selama 32 tahun telah menghancurkan republik ini dengan berbagai tindak korupsi, kolusi dan nepotisme.

Golkar merupakan partai yang banyak mendapatkan protes, sebab ia merupakan partai pendukung pemerintah dan merupakan mayoritas tunggal dalam setiap pemilu. Golkar mempunyai dosa besar dalam menghancurkan republik ini. Karena itu, banyak muncul tuntutan untuk pembubaran partai berlambang pohon beringin ini. Tetapi Golkar dengan segala kepiawaiannya muncul dengan suasana baru dan paradigma baru. Sehingga berbagai macam tuntutan pembubaran dapat dilewati dengan tenang dan tetap menjadi peserta pemilu bahkan untuk pemilu 2004 mendatang. Namun demikian, Mursyid tarekat Shiddiqiyyah mencabut dukungannya pada Golkar, sebab Golkar dianggap tidak lagi mampu untuk memerintah negeri ini.

Selain itu, Mursyid Shiddiqiyyah melihat bahwa partai yang begitu banyak sudah pasti tidak akan ada lagi mayoritas tunggal. Semua partai muncul dengan visi dan misinya sendiri-sendiri dengan mengusung berbagai kepentingan kelompok mereka sendiri. Kepentingan-kepentingan tersebut boleh jadi bertentangan dengan kepentingan-kepentingan Tarekat Shiddiqiyyah yang mengutamakan dakwah Islam.

Memang, seiring dengan reformasi kebebasan untuk menyalurkan aspirasi selalu dikumandangkan, sehingga diharapkan rakyat betul-betul menyalurkan aspirasinya sendiri sesuai dengan keinginannya sendiri, tanpa diperintah oleh siapapun.

Kebebasan seperti itu bukan berarti membatasi wewenang mursyid untuk mengarahkan murid-muridnya kepada satu partai politik tertentu. Sebab sebagaimana disebutkan sebelumnya, ketaatan murid kepada mursyid adalah ketaatan total dalam bidang apapun tidak terkecuali bidang politik. Hanya saja karena tidak ada lagi partai yang dianggap perlu didukung, maka mursyid Tarekat Shiddiqiyyah tidak memberikan instruksi secara khusus kepada muridnya. Dengankata lain, mursyid membebaskan murid-muridnya untuk menyalurkan suaranya kepada partai mana saja yang sesuai dengan pilihannya.

Tarekat Shiddiqiyyah sangat berbeda dengan tarekat atau organisasi lain yang selalu mengharapkan sesuatu dari afiliasinya terhadap partai tertentu. Tarekat ini semata-mata hanya untuk menjalankan bakti kepada Negara RI dan bakti cinta pada tanah air. Dalam persoalan pembangunan sarana dan prasarana umum, bukannya pemerintah yang membantu Tarekat Shiddiqiyyah, sebaliknya Tarekat Shiddiqiyyahlah yang banyak membantu kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan, termasuk pembangunan jalan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Dengan kemandirin tersebut, maka wajarlah kalau berbagai tawaran yang diajukan oleh orang-orang yang mencalonkan diri untuk pemilu 2004 semuanya ditolak. Para calon presiden tersebut mengharapkan dukungan mursyid Tarekat Shiddiqiyyah dengan seluruh anggotanya akan memuluskan mereka menjadi partai pemenang pemilu, yang selanjutnya akan memuluskan pula dirinya utnuk menjadi presiden.

Mereka-mereka yang datang ke kediaman Mursyid tarekat Shiddiqiyyah tidak ada yang ditemui. Sebab bila ada yang ditemui, dikhawatirkan akan terjadi persepsi yang berbeda di kalangan pengikut Shiddiqiyyah. Padahal Mursyid Shiddiqiyyah sekarang ini benar-benar membebaskan murid-muridnya untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Lebih dari itu, walaupun ada anggota Tarekat Shiddiqiyyah yang ingin menjadi anggota legislatif dan meminta dukungan warga Tarekat Shiddiqiyyah, mursyid tetap menyatakan bahwa warga Tarekat Shiddiqiyyah Shiddiqiyyah bebas memilih partai apapun sesuai dengan keinginannya masing-masing, dan jangan sekali-kali mengatasnamakan Tarekat Shiddiqiyyah.[12]

Selain itu, kepedulian Tarekat Shiddiqiyyah terhadap fenomina politik di tanah air adalah ditandai dengan adanya acara doa bersama untuk kelancaran sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2002. Kekhawatiran Tarekat Shiddiqiyyah adalah pada terjadinya amandemen UUD 1945 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pada dasarnya, Tarekat Shiddiqiyyah setuju-setuju saja dengan berbagai keputusan MPR selama tidak menyangkut amandemen pasal di atas, tetapi apabila pasal di atas yang diubah misalnya dengan penambahan 7 kata yang ada dalam Piagam Jakarta, tarekat Shiddiqiyyah tidak akan tinggal diam, tetapi akan menyuarakan suaranya. Dalam pandangan Mursyid tarekat Shiddiqiyyah pasal 29 ayat 1 tersebut sudah dianggap rumusan final yang dapat diterima oleh semua agama dan golongan. Karena itu, rumusan pasal tersebut harus dipertahankan untuk menghindari terjadinya disintegrasi bangsa dan tragedi yang berkepanjangan.

E. Penutup

Ijtihad politik Tarekat Shiddiqiyyah di atas, menjadi ilustrasi unik. Sufi termasuk di dalamnya tarekat yang selama ini dipandang sebagai kelompok paling asketis, pada kenyataannya memiliki keterlibatan relatif besar dalam percaturan politik. Dalam kacamata prinsip-aksi, ini adalah bentuk ambivalensi. Tapi, dalam sudut pandang yang berbeda ini adalah bentuk pembumian sufi; sufi yang tidak hidup asing di menara gading atau gua-gua sunyi; sufi yang tidak kaku dengan ajaran formal tarekatnya. Tapi, sufi yang juga terimbas oleh transformasi sosial-politik lokal maupun global.

Partisipasi politik Tarekat Shiddiqiyyah sebagai sebuah hasil ijtidah politik yang dimotori oleh Mursyid mendapatkan dasar yang kuat dalam butir-butir delapan kesanggupan yang menjadi dasar ajaran Tarekat Shiddiqiyyah yang meliputi:: Pertama, sanggup bakti kepada Allah Ta’ala. Kedua, sanggup bakti kepada Rasulullah. Ketiga, sanggup bakti kepada orangtua (Ibu Bapak); Keempat, sanggup bakti kepada sesama manusia. Kelima, sanggup bakti kepada negara Republik Indonesia; Keenam, sanggup cinta kepada tanah air Indonesia; Ketujuh, sanggup mengamalkan Tarekat Shiddiqiyyah; Kedelapan, sangup meghargai waktu. Kesanggupan kelima dan keenam tersebut dijabarkan sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah yang sah dan menyalurkan aspirasi politik sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Tarekat Shiddiqiyyah mempunyai partisipasi politik aktif dalam percaturan politik di Indonesia. Partisipasi tersebut bukanlah dengan menjadi anggota DPR atau MPR atau dengan mendirikan partai, tetapi semata-mata pada keikutsertaannya dalam pemilu dan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Pada masa Orde Baru Tarekat Shiddiqiyyah melalui ijtihad Mursyidnya menyalurkan aspirasi politiknya ke Golongan Karya (Golkar) yang waktu itu menjadi partai penguasa negeri ini. Penyaluran aspirasi pada Golkar tersebut, semata-mata karena adanya kecocokan terhadap kebijakan-kebijakan Golkar yang dianggap tidak bertentangan dengan tujuan tarekat Shiddiqiyyah.

Pada masa Reformasi, Tarekat Shiddiqiyyah tidak lagi memberikan dukungannya kepada Golkar, tetapi memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai dengan keinginannya sendiri. Sebab secara institusi tidak ada lagi kebijakan untuk mendukung partai tertentu, sebab sudah tidak ada lagi partai mayoritas dan semuanya tidak ada yang mampu menjadi penguasa penuh negeri ini.

Daftar Bacaan

Depag RI, Tarekat Shiddiqiyyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Laporan Penelitian Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, Semarang: 1992)

Hilmy Mukhtar, Dinamika NU: Suatu Studi tentang Elite Kekuatan Politik Islam di Jombang Jawa Timur (Yogyakarta; Tesisi UGM, 1989), h. 156.

J. Spencer Triminfharm, Mazhhab Sufi (Bandung: Pustaka, 1999).

John L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), jil.5.

Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Menyingkap Kegelapan Hati (Losari Jombang, 2002), h. 41.

Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Penjelasan Ringkas Mengenai Delapan Kesanggupan (Losari Jombang, 1983).

Majalah al-Kautsar Dzilalul Mustad’afun, Vol. 10, 2004.

Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat (Yogyakarta: Galang Press, 2001).

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 81.

Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten (Jakarta: Pustaka Jaya).

Syahrul A’dam, Mursyid dan Politk: Studi Partisipasi Tarekat Shiddiqiyyah di Ploso Jombang (Jakarta: Penelitian Individual Fak Syariu’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004).

YPS, Data-data Thariqoh Shddiqiyyah (Ploso, YPS, 1989).



[1]Untuk keterangan lebih lengkap baca Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten (Jakarta: Pustaka Jaya).

[2] Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi dilahirkan di desa yang sama Losari Ploso Jombang pada tanggal 28 Agustus 1928 dari pasangan suami isteri H. Abdul Mu’thi bin Kyai Ahmad Syuhada berasal dari Demak dan Ibu Nasichah binti Kyai Abdul Karim dari Pati. Beliau adalah anak yang ke 12 dari 17 bersaudara. Dilihat dari silsilah nasab, beliau memang keturunan dari kyai, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, tidak heran beliau sejak kecil telah mendapatkan bimbingan pendidikan ilmu-ilmu agama dalam lingkungan keluarganya. Meskipun demikian secara formal beliau juga mengenyam pendidikan di Madrasah Islamiyah Ngelo (sekarang Rejoagung) Kecamatan Ploso. Selanjutnya, beliau belajar di Pesantren Rejoso, Peterongan, dan sebelum akhirnya pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang. Sepeninggal ayahnya H. Abdul Mu’thi Kyai Much. Muchtar mulai belajar ilmu Tasawuf pada Kyai Muntoha, Kedung Macan, Sambong, Jombang. Kyai Muntoha tercatat sebagai guru Tarekat Ahmadiyyah

[3]Data-data Thariqoh Shddiqiyyah (Ploso, YPS, 1989).

[4]Lihat Depag RI, Tarekat Shiddiqiyyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Laporan Penelitian Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, Semarang: 1992), h. 18.

[5]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Penjelasan Ringkas Mengenai Delapan Kesanggupan (Losari Jombang, 1983).

[6]Hasil wawancara dengan Bapak Munif, Khalifah Tarekat Shidddiqiyyah, Agustus 2003.

[7]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Penjelasan Ringkas Mengenai Delapan Kesanggupan (Losari Jombang, 1983).

[8]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 81.

[9]Hilmy Mukhtar, Dinamika NU: Suatu Studi tentang Elite Kekuatan Politik Islam di Jombang Jawa Timur (Yogyakarta; Tesisi UGM, 1989), h. 156.

[10]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Menyingkap Kegelapan Hati (Losari Jombang, 2002), h. 41.

[11]Kyai Much. Muchtar Mu’thi, Menyingkap Kegelapan Hati, h. 41.

[12]Lihat Majalah al-Kautsar Dzilalul Mustad’afun, Vol. 10, 2004, h. 4.